Jakarta, Kowantaranews.com -Selama lebih dari tiga dekade, saya telah bekerja sebagai ahli bedah trauma di berbagai zona perang di seluruh dunia. Dari Suriah hingga Yaman, Afghanistan hingga Irak, saya telah melihat luka-luka perang yang mengerikan dan berhadapan dengan situasi yang menantang. Namun, tidak ada satu pun pengalaman yang dapat dibandingkan dengan apa yang saya saksikan di Gaza. Dalam artikel ini, saya akan menjelaskan mengapa saya menganggap Gaza sebagai zona perang terburuk dan bagaimana kondisi di sana telah membawa saya kembali ke abad ke-19 dalam hal medis dan kemanusiaan.
Kondisi Infrastruktur Medis
Di zona perang lainnya, meskipun terdapat banyak tantangan, masih ada beberapa bentuk infrastruktur medis yang dapat diandalkan. Namun, di Gaza, infrastruktur medis hampir sepenuhnya hancur. Rumah sakit dan klinik sering kali menjadi target serangan, menyebabkan kerusakan parah dan membuat fasilitas kesehatan tidak dapat berfungsi dengan baik. Bahkan ketika fasilitas ini beroperasi, mereka sering kekurangan pasokan dasar seperti obat-obatan, peralatan bedah, dan bahkan listrik.
Pemadaman listrik yang sering terjadi di Gaza memperburuk situasi ini. Bayangkan harus melakukan operasi bedah dalam kegelapan atau dengan penerangan yang sangat minim. Ini adalah kenyataan sehari-hari di rumah sakit Gaza. Ketika listrik padam, generator cadangan sering kali tidak mampu bertahan lama karena kekurangan bahan bakar. Kondisi ini membuat penyelamatan nyawa menjadi tantangan besar dan sering kali mengakibatkan kematian yang dapat dicegah.
Keterbatasan Pasokan Medis
Pasokan medis di Gaza sangat terbatas. Blokade yang diberlakukan membuat masuknya bantuan medis menjadi sangat sulit. Sering kali, kami harus berimprovisasi dengan apa yang ada. Sebagai contoh, saya pernah harus menggunakan alat bedah yang sudah tua dan tidak layak pakai karena tidak ada pilihan lain. Dalam beberapa kasus, kami harus menggunakan kembali peralatan sekali pakai setelah mensterilkannya secara manual, yang tentu saja tidak ideal dan meningkatkan risiko infeksi.
Obat-obatan pun sangat sulit didapat. Antibiotik, yang sangat penting untuk mencegah infeksi pasca operasi, sering kali habis. Pasien yang seharusnya mendapatkan perawatan terbaik hanya bisa mendapatkan perawatan seadanya. Ini bukan hanya masalah medis, tetapi juga masalah moral. Bagaimana kita bisa merawat pasien dengan baik jika kita tidak memiliki sumber daya yang memadai?
Baca juga : Armenia Resmi Akui Palestina sebagai Negara di Tengah Konflik Gaza-Israel
Baca juga : Qatar Lakukan Negosiasi Intensif untuk Gencatan Senjata Israel-Hamas
Baca juga : Day 256: Gaza Under Siege – Israel’s Airstrikes Claim Dozens of Lives
Tantangan Transportasi dan Mobilitas
Salah satu masalah terbesar di Gaza adalah kesulitan transportasi. Blokade dan pembatasan pergerakan membuat transportasi pasien ke rumah sakit menjadi sangat sulit. Banyak pasien yang terluka parah harus menunggu berjam-jam, bahkan berhari-hari, sebelum mereka bisa mendapatkan perawatan medis. Sering kali, penundaan ini berarti perbedaan antara hidup dan mati.
Saya ingat satu kasus di mana seorang anak kecil yang terluka akibat ledakan harus menunggu lebih dari 12 jam untuk diangkut ke rumah sakit. Ketika dia akhirnya tiba, luka-lukanya sudah sangat parah dan infeksi telah menyebar. Meskipun kami melakukan segala yang kami bisa, nyawanya tidak dapat diselamatkan. Ini adalah salah satu momen paling memilukan dalam karier saya.
Kurangnya Tenaga Medis Terlatih
Satu lagi tantangan besar di Gaza adalah kekurangan tenaga medis terlatih. Banyak dokter dan perawat yang telah meninggalkan wilayah ini karena konflik yang berkepanjangan. Mereka yang tetap tinggal berjuang dengan sumber daya yang sangat terbatas dan beban kerja yang luar biasa berat. Pelatihan medis lanjutan juga hampir tidak ada, membuat mereka kesulitan mengikuti perkembangan terbaru dalam perawatan trauma.
Tenaga medis yang tersisa sering kali bekerja dalam kondisi yang sangat menegangkan dan berbahaya. Serangan terhadap fasilitas medis dan tenaga kesehatan adalah hal yang biasa. Saya telah bekerja bersama rekan-rekan yang terus melanjutkan pekerjaan mereka meskipun ada ancaman langsung terhadap keselamatan mereka. Keberanian dan dedikasi mereka sangat menginspirasi, tetapi juga sangat menyedihkan karena mereka harus bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Dampak Psikologis pada Pasien dan Tenaga Medis
Tidak hanya kondisi fisik yang buruk, dampak psikologis dari konflik juga sangat mendalam. Banyak pasien yang datang dengan luka fisik juga mengalami trauma psikologis yang parah. Anak-anak yang terluka akibat serangan tidak hanya menderita secara fisik, tetapi juga secara mental. Mereka sering kali mengalami mimpi buruk, ketakutan yang terus-menerus, dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Tenaga medis juga tidak kebal terhadap dampak psikologis ini. Melihat begitu banyak penderitaan dan kematian setiap hari sangat mempengaruhi kesehatan mental kami. Banyak dari kami mengalami kelelahan emosional dan burnout. Namun, kami harus terus bekerja karena kebutuhan medis sangat mendesak dan tidak ada cukup tenaga medis untuk menggantikan kami.
Harapan dan Solidaritas
Meskipun situasi di Gaza sangat suram, ada secercah harapan dalam bentuk solidaritas internasional. Bantuan dari organisasi kemanusiaan dan sukarelawan medis sangat berharga. Mereka membawa bukan hanya pasokan medis, tetapi juga harapan dan dukungan moral. Setiap dukungan kecil memberikan perbedaan besar dalam kehidupan banyak orang di Gaza.
Dukungan internasional sangat penting untuk memperbaiki kondisi di Gaza. Bantuan medis, pelatihan, dan dorongan moral sangat diperlukan untuk membantu mereka yang berada di garis depan konflik ini. Saya berharap bahwa suatu hari nanti, perdamaian dan stabilitas akan datang ke Gaza, dan penduduknya dapat membangun kembali kehidupan mereka tanpa harus terus-menerus berada dalam bayang-bayang perang.
Pengalaman saya di Gaza telah membuka mata saya terhadap realitas yang sangat suram namun penuh dengan keberanian dan dedikasi. Gaza adalah zona perang terburuk yang pernah saya alami, bukan hanya karena intensitas konflik, tetapi juga karena kondisi medis yang sangat memprihatinkan. Namun, meskipun situasinya sangat sulit, ada semangat kemanusiaan yang tak terkalahkan yang terus berjuang untuk bertahan hidup.
Sebagai komunitas global, kita memiliki tanggung jawab untuk mendukung mereka yang terjebak dalam konflik. Bantuan medis, pelatihan, dan solidaritas internasional adalah kunci untuk membawa perubahan positif. Dengan kerja sama dan komitmen untuk perdamaian, kita dapat membantu mengubah realitas ini dan memberikan masa depan yang lebih baik bagi penduduk Gaza. *Mukroni
Sumber economist.com
Foto Kowantaranews.com
- Berita Terkait :
Armenia Resmi Akui Palestina sebagai Negara di Tengah Konflik Gaza-Israel
Qatar Lakukan Negosiasi Intensif untuk Gencatan Senjata Israel-Hamas
Day 256: Gaza Under Siege – Israel’s Airstrikes Claim Dozens of Lives
Pengunduran Diri Pejabat AS Stacy Gilbert: Protes terhadap Kebijakan Bantuan Kemanusiaan di Gaza
Idul Adha di Tengah Konflik: Ketika Kegembiraan Berganti Kesedihan di Gaza
Tragedi di Rafah: Delapan Tentara Israel Tewas dalam Pertempuran Terbaru di Jalur Gaza
AS menjatuhkan sanksi pada ‘kelompok ekstremis Israel’ karena memblokir bantuan Gaza
Langkah Israel: ‘Jeda Taktis’ untuk Meringankan Krisis Kemanusiaan di Gaza
Pembicaraan Gencatan Senjata Gaza oleh Qatar dan Mesir: Langkah Baru Menuju Perdamaian
Akhir yang Mendekat bagi Pemerintahan Netanyahu yang Terpecah
Krisis Kemanusiaan di Gaza: Keputusasaan di Tengah Pertempuran
Ketegangan AS-Israel: Perdebatan atas Berbagi Informasi Intelijen
Tekanan Boikot Israel terhadap Merek-merek Amerika di Timur Tengah
$7.000 untuk Keluar dari Gaza: Eksploitasi Warga Palestina yang Melarikan Diri ke Mesir
Krisis Kemanusiaan di Gaza Meningkat, Yordania Gelar Pertemuan Darurat Internasional
Transformasi Ekonomi Global: Dampak Penghentian Perjanjian Petro Dollar oleh Arab Saudi
Rencana Gencatan Senjata Gaza Terhambat oleh Perubahan Usulan dari Hamas, Klaim AS
HRW: Penggunaan Kelaparan oleh Israel sebagai Senjata Perang di Gaza Merupakan ‘Kejahatan Perang’
PBB Temukan Bukti Kejahatan Kemanusiaan oleh Israel di Gaza
Resolusi DK PBB Dukung Gencatan Senjata Gaza: Langkah Menuju Perdamaian yang Tantangannya Besar”
Pertemuan Tegang di Kairo: Morsi Dituduh Mengimplikasikan Yahudi Mengendalikan Media AS
Gideon Levy: Pendudukan Israel Tidak Akan Berakhir Sampai Mereka Membayar Akibatnya
Ribuan Orang Berkumpul di Luar Gedung Putih untuk Memprotes Perang di Gaza
Benny Gantz Mengundurkan Diri dari Kabinet Perang: Pukulan Telak bagi Netanyahu
Kebencian terhadap Netanyahu Meningkat di Tengah Isolasi Internasional Israel
Dewan Menteri D-8 Serukan Gencatan Senjata “Segera, Permanen, Tanpa Syarat” di Gaza
Israel Menyerang Sekolah di Gaza yang Menampung Pengungsi Palestina, Menewaskan Sedikitnya 40 Orang
Bagaimana “Le Monde” Meliput Konflik Israel-Palestina Sejak 1945
Spanyol Ikut Campur dalam Kasus Genosida Afrika Selatan Terhadap Israel di ICJ
Bernie Sanders: Menghormati Netanyahu dengan Pidato Kongres adalah Kesalahan Besar
Gideon Levy Mengkritik Media Israel yang Tidak Memperlihatkan Penderitaan di Gaza
Kontroversi di Parlemen Prancis: Bendera Palestina di Tengah Isu Politik Sensitif
Lapid Kecam Smotrich dan Ben Gvir atas Ancaman Gulingkan Koalisi Terkait Gencatan Senjata Sandera
Macklemore: Melawan Apartheid demi Kemerdekaan Palestina di Tengah Konflik Gaza
Mesir Bergabung dalam Kasus Genosida terhadap Israel di Pengadilan Tinggi PBB
Türkiye Bergabung dalam Kasus Genosida Afrika Selatan terhadap Israel di ICJ
Chile Bergabung dengan Afrika Selatan dalam Kasus Genosida Terhadap Israel di ICJ
Selebriti AS Berunjuk Rasa untuk Palestina di Tengah Meningkatnya Konflik Gaza
Steven Seagal Terima Penghargaan dari Putin, Sampaikan Pidato Kontroversial tentang Ukraina
Israel Melobi Pejabat Jerman untuk Mengecam Surat Perintah Penangkapan ICC terhadap Netanyahu
Arab Saudi Sambut Baik Pengakuan Palestina oleh Norwegia, Irlandia, dan Spanyol
Arab Saudi Serukan Hak Hidup Aman bagi Warga Palestina dalam Pertemuan OKI di Jeddah
Kolombia Tegaskan Dukungan bagi Palestina: Pendekatan Baru di Bawah Kepemimpinan Presiden Petro
Krisis Kemanusiaan di Gaza Semakin Memperburuk, PBB Hentikan Distribusi Makanan di Rafah
Prof. Mearsheimer: Pembersihan Etnis atau Solusi Damai? Analisis Krisis Israel
Utusan Palestina: Israel Berniat ‘Menggusur, Menundukkan, atau Membunuh’ Warga Gaza
Insiden di Mahkamah Internasional: Pengacara Israel Disebut ‘Pembohong’ oleh Pengamat Selama Sidang
Raja Saudi Salman Dirawat karena Radang Paru-paru di Istana Al Salam
Helikopter dalam Konvoi yang Membawa Presiden Iran Ebrahim Raisi Jatuh di Azerbaijan Timur
JPMorgan Chase Tarik Investasi dari Elbit Systems di Tengah Tekanan Kampanye Boikot
76 Tahun Nakba: Peringatan Sejarah dan Bencana yang Berkepanjangan di Gaza
Hakim Kanada Tolak Pembubaran Demo Pro-Palestina di Universitas McGill
Blokade Bantuan ke Gaza: Protes, Krisis Kelaparan, dan Konsekuensi Global
Netanyahu Tegaskan Israel Bukan “Negara Bawahan” AS di Tengah Ketegangan dengan Biden
Mayor Angkatan Darat AS Mengundurkan Diri untuk Memprotes Dukungan Amerika terhadap Israel di Gaza
Enam Sekutu Amerika Serikat Dukung Keanggotaan Penuh Palestina di PBB
Jeremy Corbyn di Rafah: ” Kisah Horor dan Harapan di Gaza: Panggilan untuk Keadilan dan Perdamaian”
Antony Blinken Mengecam Klaim Israel: Keadilan dan Kemanusiaan dalam Konflik Gaza