• Ming. Okt 6th, 2024

KowantaraNews

RINGKAS DAN TAJAM

Politik Uang Makin Menggila: Janji Kampanye Jadi Dagangan, Siapa Bayar, Dia Menang!

ByAdmin

Sep 30, 2024
Sharing is caring

Jakarta, Kowantaranews.com -Menjelang Pilkada 2024, suasana politik di berbagai wilayah Indonesia semakin memanas, termasuk di Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, di balik gemuruh kampanye dan janji-janji yang diucapkan para calon, fenomena yang semakin mengkhawatirkan muncul di tengah masyarakat: politik uang. Di tengah kekecewaan mendalam terhadap janji-janji kampanye yang kerap tidak ditepati, politik uang telah menjadi praktik yang semakin biasa, bahkan diterima oleh masyarakat. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah janji kampanye benar-benar menjadi sekadar dagangan yang bisa dibeli dengan uang?

Obrolan Rakyat: Janji Kosong dan Ketidakpercayaan

Di sebuah tempat cukur sederhana di Jalan Amabi, Kota Kupang, NTT, percakapan seputar politik menjadi topik yang hangat dibicarakan. Polce, seorang pemilik tempat cukur, berbincang dengan pelanggannya tentang Pilkada yang tengah berlangsung. Di sana, janji-janji calon kepala daerah yang kerap terdengar di kampanye dibahas dengan nada sinis. Nelson, salah satu pelanggan, bercerita tentang seorang calon yang berjanji membangun jalan di lingkungan mereka. Namun, Nelson merasa skeptis, karena janji serupa sudah sering ia dengar pada pemilu sebelumnya, tanpa ada realisasi.

Sentimen yang sama diutarakan oleh Mandus, pelanggan lain, yang menyoroti janji pendidikan gratis dari para calon. Faktanya, orang tua tetap harus membayar uang sekolah, biaya seragam, dan berbagai biaya lainnya. Ia juga kecewa dengan sistem penerimaan siswa baru di sekolah favorit, yang menurutnya diisi oleh anak-anak dari keluarga pejabat dan kalangan elit. Semua ini membuatnya semakin malas mendengarkan kampanye yang menurutnya penuh kebohongan.

Isu kesehatan juga tidak luput dari perbincangan. Beberapa pasien dengan status peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merasa tidak diperlakukan sebaik pasien umum. Ini menjadi bukti lain dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang dihasilkan dari pilkada sebelumnya. Pada akhirnya, percakapan itu sampai pada kesimpulan yang mengkhawatirkan: materi kampanye hanyalah janji-janji yang tidak dapat dipercaya, dan politik uang menjadi solusi instan bagi para pemilih.

Politik Uang: Menguat di Tengah Ketidakpercayaan

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap janji-janji kampanye ini membuka ruang lebar bagi praktik politik uang. Fenomena ini semakin terlihat masif, terutama di daerah-daerah dengan kondisi ekonomi yang sulit. Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Eusabius Saperera Niron, mengatakan bahwa praktik politik uang telah mencapai tingkat yang memprihatinkan, terutama ketika masyarakat merasa frustrasi terhadap kondisi ekonomi mereka yang terus memburuk.

Di tengah kemiskinan yang masih merajalela—angka kemiskinan di NTT mencapai 19 persen—politik uang menjadi jalan pintas yang menggoda, baik bagi para calon maupun masyarakat. Beberapa laporan menyebutkan bahwa pada Pemilu Legislatif 2024, sejumlah calon legislatif membayar hingga Rp 350.000 per pemilih. Niron juga menekankan bahwa dalam banyak kasus, politik uang tidak hanya didorong oleh calon, tetapi juga karena tuntutan dari pemilih yang sudah jenuh dengan janji politik.

Baca juga : Pilkada di Ujung Tanduk: Kotak Kosong Siap Hancurkan Dominasi Calon Tunggal!

Baca juga : Brutalitas di Forum Kebangsaan: Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk ?

Baca juga : Rakyat Milih, Partai yang Putuskan: Demokrasi Ala Kadar

Politik Uang di Pilkada: Transaksi yang Mengkhianati Masa Depan

Fenomena ini jelas mengkhianati esensi demokrasi. Pilkada seharusnya menjadi ajang bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata bagi daerah. Namun, ketika politik uang menjadi bagian integral dari proses tersebut, relasi antara pemilih dan calon berubah menjadi transaksional semata. Polce, yang menjadi tokoh dalam cerita tempat cukur tadi, dengan gamblang mengatakan, “Saya tunggu saja, siapa yang bayar, itu yang saya pilih.”

Praktik ini tentu saja memiliki konsekuensi jangka panjang yang merugikan masyarakat. Saat pemilih tergoda dengan uang, mereka sesungguhnya telah mengorbankan masa depan daerah mereka. Seperti yang diungkapkan oleh pengamat politik lainnya, begitu relasi antara pemilih dan calon berakhir di TPS (tempat pemungutan suara), calon yang terpilih tidak lagi merasa memiliki kewajiban moral untuk menepati janji-janji mereka. Setelah mendapat kursi kekuasaan, perhatian mereka sering kali beralih dari kepentingan rakyat menuju kepentingan pribadi atau kelompok.

Upaya Menghentikan Politik Uang

Dalam menghadapi fenomena yang semakin mengkhawatirkan ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengambil sikap tegas. Magdalena Yuanita Wake, komisioner Bawaslu NTT, mengingatkan bahwa politik uang bisa berujung pada pidana, bahkan kemenangan seorang calon bisa dibatalkan jika terbukti adanya praktik tersebut yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Ia mengajak masyarakat untuk proaktif dalam melaporkan kasus politik uang, karena dengan jumlah petugas yang terbatas, Bawaslu tidak bisa mengawasi seluruh TPS di NTT​.

Meski demikian, tantangan besar tetap ada. Politik uang tidak hanya menyebar karena niat calon, tetapi juga karena tuntutan dari pemilih itu sendiri. Saat kemiskinan dan tekanan ekonomi mencekik, uang yang diberikan oleh calon saat kampanye dianggap sebagai solusi instan untuk meringankan beban hidup, meski hanya sementara. Dalam kondisi seperti ini, sulit bagi masyarakat untuk menolak godaan tersebut dan memilih berdasarkan visi serta integritas calon.

Harapan untuk Masa Depan: Perubahan Nyata

Di tengah maraknya politik uang, penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa perubahan nyata hanya dapat terjadi jika pemilih memilih pemimpin berdasarkan kualitas dan komitmen mereka, bukan berdasarkan iming-iming uang. Pengalaman dari berbagai daerah menunjukkan bahwa pemimpin yang dipilih karena politik uang sering kali gagal memenuhi harapan masyarakat setelah terpilih. Di sisi lain, pemimpin yang benar-benar berkomitmen pada perubahan dapat membawa dampak positif yang signifikan, seperti yang terjadi di Jakarta di bawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok, yang dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan berintegritas, mampu menghadirkan perubahan dalam hal pengelolaan banjir, kemacetan, dan pembangunan infrastruktur kota dalam waktu singkat.

Niron menekankan pentingnya narasi tentang pemilu sebagai momentum perubahan, bukan sekadar transaksi politik. Pemilih harus sadar bahwa dengan menerima uang dari calon, mereka pada dasarnya telah menjual masa depan daerah mereka. Untuk itu, pemilu 2024 harus menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang benar-benar peduli pada kepentingan publik dan mampu membawa perubahan yang dibutuhkan.

Membangun Kesadaran untuk Pemilu yang Bersih

Fenomena politik uang di NTT mencerminkan masalah yang lebih luas di Indonesia. Politik uang tidak hanya merusak kualitas demokrasi, tetapi juga membahayakan masa depan daerah yang membutuhkan pemimpin yang dapat membawa perubahan. Jika masyarakat terus terjebak dalam pola pikir transaksional, maka masa depan daerah ini akan terus terabaikan.

Diperlukan kesadaran bersama bahwa politik bukanlah soal siapa yang membayar lebih, tetapi soal siapa yang memiliki visi dan integritas untuk memimpin dengan baik. Tanpa kesadaran ini, Pilkada 2024 akan berakhir sebagai ajang dagang janji, di mana janji kampanye menjadi sekadar barang dagangan yang bisa dibeli dengan uang. *Mukroni

Foto Kompas

  • Berita Terkait :

Brutalitas di Forum Kebangsaan: Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk ?

Rakyat Milih, Partai yang Putuskan: Demokrasi Ala Kadar

Anak Muda Terhalang Masuk Pilkada 2024: Politik Elitis dan Biaya Selangit Jadi Penghambat!

Konflik Tak Berujung PKB dan Pengurus NU: Perebutan Pengaruh dan Legitimasi

Kabinet Zaken Prabowo: Membangun Pemerintahan Berbasis Keahlian di Era Modern

Penambahan Kementerian untuk Efektivitas Pemerintahan: Langkah Strategis Kabinet Prabowo-Gibran

Mengembalikan Politik ke Publik: Evaluasi Keputusan MK dan Usulan Reformasi Ambang Batas

Pilkada 2024: Ketika Keluarga Menguasai Panggung Politik

Strategi Politik Jokowi di Akhir Jabatan: Desakan Pembahasan RUU Perampasan Aset dan Tuduhan Gimik

Calon Tunggal Menjamur: Tantangan Baru Demokrasi di Pilkada 2024

Kesepakatan DPR dan KPU pada PKPU Pencalonan: Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi

Muhaimin Iskandar Kembali Pimpin PKB untuk Periode Keempat: Muktamar 2024 Tetapkan Agenda Penting Partai

Pilkada 2024: KPU Umumkan Jadwal Pendaftaran dan Revisi Aturan Pencalonan Sesuai Putusan MK

Presiden Jokowi Ikuti Putusan MK, Tolak Perppu Pilkada Setelah Revisi UU Batal

Pilkada 2024 Akan Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi: Penegasan Komisi II DPR

Protes Publik Berhasil Gagalkan Revisi UU Pilkada oleh DPR: Suara Rakyat Menang di Tengah Upaya Revisi

Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024: Harapan Baru untuk Demokrasi Indonesia di Tengah Dominasi Kartel Politik

Krisis Konstitusional Mengintai: DPR dan Pemerintah Didesak Patuhi Putusan MK terkait Syarat Pencalonan Kepala Daerah

Keputusan MK Soal Pilkada 2024: Jalan Terbuka bagi Partai Kecil dan Kandidat Alternatif

Ridwan Kamil-Suswono Menguat di Pilkada Jakarta: Suswono Dipilih Karena PKS Kesulitan Mengusung Anies Baswedan

Megawati Soekarnoputri: Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Langgar Konstitusi

PDI-P Unggul dalam Pemilu Legislatif 2024, Delapan Partai Politik Duduki Kursi DPR

Anies Baswedan Resmi Diusung NasDem untuk Pilgub DKI Jakarta 2024

Pilpres 2024: Lima Sorotan Utama dari Sidang Perdana Gugatan di MK

Perjalanan Indonesia dari Federalisme ke Negara Kesatuan: Tantangan dan Perkembangan Pasca-RIS

Gibran sebagai Cawapres: DKPP Ambil Tindakan Serius Terhadap KPU dan Hasyim Asyari

Kowantara Bersatu untuk Mendukung AMIN, Anies dan Muhaimin: Merajut Kekuatan Bersama

Presiden Jokowi Ajak Warga Singapura Tinggal di IKN, Menterinya Melarang Warteg di IKN

Kowantara Bersatu untuk Mendukung AMIN, Anies dan Muhaimin: Merajut Kekuatan Bersama

HIKAPINDO Perjuangkan Kader Penyuluh Indonesia di DPR RI

Apa Isi Risalah At-Tauhid Sidoresmo Surabaya Untuk Anies Baswedan ?

DISKUSI PUBLIK CONTINUUM BIGDATA CENTER : “DINAMIKA POLITIK MENUJU 2024, APA KATA BIG DATA?”

Menggali Asa Warteg: Perspektif Terhadap Pembangunan Multi-Kota

Implikasi Kepresidenan Prabowo: Faisal Basri Ramal Utang RI Tembus Rp16.000 T

Bermetamorfosis bersama Kowantara: Menguak 10 Langkah Warteg Berpeluang Menjadi Agen Perubahan dalam Pemilihan Presiden yang Bijak

10 Saran KOWANTARA bagi Warteg Apabila ada Pelanggan Mengeluarkan Kata-Kata Merendahkan seperti Bodoh dan Tolol

Pedagang Warteg dan Daya Beli Masyarakat Tertatih-tatih Di Akhir Jabatan Jokowi

Saran KOWANTARA : 10 Sikap Warteg Jika ada Pejabat Tinggi yang Melihat Sebelah Mata Keberadaan Warteg

Warteg Bakal Dilarang di IKN, Begini Saran Kowantara

Ayo Gibran Bersuara Jangan Diam !, Ada Menteri  yang Sebelah Mata Terhadap Warteg

Presiden Jokowi Ajak Warga Singapura Tinggal di IKN, Menterinya Melarang Warteg di IKN

Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang

Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online

Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani

Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu

Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi

Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya

Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan

Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.

Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang

KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat

Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?

Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka 

Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu

Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis

Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi

Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik

Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama

Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal

Kowartami  Resmikan  Warteg  Republik  Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat

Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit

Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik

Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi

Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Top

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *