Jakarta, Kowantaranews.com -Menjelang Pilkada 2024, suasana politik di berbagai wilayah Indonesia semakin memanas, termasuk di Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, di balik gemuruh kampanye dan janji-janji yang diucapkan para calon, fenomena yang semakin mengkhawatirkan muncul di tengah masyarakat: politik uang. Di tengah kekecewaan mendalam terhadap janji-janji kampanye yang kerap tidak ditepati, politik uang telah menjadi praktik yang semakin biasa, bahkan diterima oleh masyarakat. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah janji kampanye benar-benar menjadi sekadar dagangan yang bisa dibeli dengan uang?
Obrolan Rakyat: Janji Kosong dan Ketidakpercayaan
Di sebuah tempat cukur sederhana di Jalan Amabi, Kota Kupang, NTT, percakapan seputar politik menjadi topik yang hangat dibicarakan. Polce, seorang pemilik tempat cukur, berbincang dengan pelanggannya tentang Pilkada yang tengah berlangsung. Di sana, janji-janji calon kepala daerah yang kerap terdengar di kampanye dibahas dengan nada sinis. Nelson, salah satu pelanggan, bercerita tentang seorang calon yang berjanji membangun jalan di lingkungan mereka. Namun, Nelson merasa skeptis, karena janji serupa sudah sering ia dengar pada pemilu sebelumnya, tanpa ada realisasi.
Sentimen yang sama diutarakan oleh Mandus, pelanggan lain, yang menyoroti janji pendidikan gratis dari para calon. Faktanya, orang tua tetap harus membayar uang sekolah, biaya seragam, dan berbagai biaya lainnya. Ia juga kecewa dengan sistem penerimaan siswa baru di sekolah favorit, yang menurutnya diisi oleh anak-anak dari keluarga pejabat dan kalangan elit. Semua ini membuatnya semakin malas mendengarkan kampanye yang menurutnya penuh kebohongan.
Isu kesehatan juga tidak luput dari perbincangan. Beberapa pasien dengan status peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merasa tidak diperlakukan sebaik pasien umum. Ini menjadi bukti lain dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang dihasilkan dari pilkada sebelumnya. Pada akhirnya, percakapan itu sampai pada kesimpulan yang mengkhawatirkan: materi kampanye hanyalah janji-janji yang tidak dapat dipercaya, dan politik uang menjadi solusi instan bagi para pemilih.
Politik Uang: Menguat di Tengah Ketidakpercayaan
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap janji-janji kampanye ini membuka ruang lebar bagi praktik politik uang. Fenomena ini semakin terlihat masif, terutama di daerah-daerah dengan kondisi ekonomi yang sulit. Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Eusabius Saperera Niron, mengatakan bahwa praktik politik uang telah mencapai tingkat yang memprihatinkan, terutama ketika masyarakat merasa frustrasi terhadap kondisi ekonomi mereka yang terus memburuk.
Di tengah kemiskinan yang masih merajalela—angka kemiskinan di NTT mencapai 19 persen—politik uang menjadi jalan pintas yang menggoda, baik bagi para calon maupun masyarakat. Beberapa laporan menyebutkan bahwa pada Pemilu Legislatif 2024, sejumlah calon legislatif membayar hingga Rp 350.000 per pemilih. Niron juga menekankan bahwa dalam banyak kasus, politik uang tidak hanya didorong oleh calon, tetapi juga karena tuntutan dari pemilih yang sudah jenuh dengan janji politik.
Baca juga : Pilkada di Ujung Tanduk: Kotak Kosong Siap Hancurkan Dominasi Calon Tunggal!
Baca juga : Brutalitas di Forum Kebangsaan: Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk ?
Baca juga : Rakyat Milih, Partai yang Putuskan: Demokrasi Ala Kadar
Politik Uang di Pilkada: Transaksi yang Mengkhianati Masa Depan
Fenomena ini jelas mengkhianati esensi demokrasi. Pilkada seharusnya menjadi ajang bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata bagi daerah. Namun, ketika politik uang menjadi bagian integral dari proses tersebut, relasi antara pemilih dan calon berubah menjadi transaksional semata. Polce, yang menjadi tokoh dalam cerita tempat cukur tadi, dengan gamblang mengatakan, “Saya tunggu saja, siapa yang bayar, itu yang saya pilih.”
Praktik ini tentu saja memiliki konsekuensi jangka panjang yang merugikan masyarakat. Saat pemilih tergoda dengan uang, mereka sesungguhnya telah mengorbankan masa depan daerah mereka. Seperti yang diungkapkan oleh pengamat politik lainnya, begitu relasi antara pemilih dan calon berakhir di TPS (tempat pemungutan suara), calon yang terpilih tidak lagi merasa memiliki kewajiban moral untuk menepati janji-janji mereka. Setelah mendapat kursi kekuasaan, perhatian mereka sering kali beralih dari kepentingan rakyat menuju kepentingan pribadi atau kelompok.
Upaya Menghentikan Politik Uang
Dalam menghadapi fenomena yang semakin mengkhawatirkan ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengambil sikap tegas. Magdalena Yuanita Wake, komisioner Bawaslu NTT, mengingatkan bahwa politik uang bisa berujung pada pidana, bahkan kemenangan seorang calon bisa dibatalkan jika terbukti adanya praktik tersebut yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Ia mengajak masyarakat untuk proaktif dalam melaporkan kasus politik uang, karena dengan jumlah petugas yang terbatas, Bawaslu tidak bisa mengawasi seluruh TPS di NTT.
Meski demikian, tantangan besar tetap ada. Politik uang tidak hanya menyebar karena niat calon, tetapi juga karena tuntutan dari pemilih itu sendiri. Saat kemiskinan dan tekanan ekonomi mencekik, uang yang diberikan oleh calon saat kampanye dianggap sebagai solusi instan untuk meringankan beban hidup, meski hanya sementara. Dalam kondisi seperti ini, sulit bagi masyarakat untuk menolak godaan tersebut dan memilih berdasarkan visi serta integritas calon.
Harapan untuk Masa Depan: Perubahan Nyata
Di tengah maraknya politik uang, penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa perubahan nyata hanya dapat terjadi jika pemilih memilih pemimpin berdasarkan kualitas dan komitmen mereka, bukan berdasarkan iming-iming uang. Pengalaman dari berbagai daerah menunjukkan bahwa pemimpin yang dipilih karena politik uang sering kali gagal memenuhi harapan masyarakat setelah terpilih. Di sisi lain, pemimpin yang benar-benar berkomitmen pada perubahan dapat membawa dampak positif yang signifikan, seperti yang terjadi di Jakarta di bawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok, yang dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan berintegritas, mampu menghadirkan perubahan dalam hal pengelolaan banjir, kemacetan, dan pembangunan infrastruktur kota dalam waktu singkat.
Niron menekankan pentingnya narasi tentang pemilu sebagai momentum perubahan, bukan sekadar transaksi politik. Pemilih harus sadar bahwa dengan menerima uang dari calon, mereka pada dasarnya telah menjual masa depan daerah mereka. Untuk itu, pemilu 2024 harus menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang benar-benar peduli pada kepentingan publik dan mampu membawa perubahan yang dibutuhkan.
Membangun Kesadaran untuk Pemilu yang Bersih
Fenomena politik uang di NTT mencerminkan masalah yang lebih luas di Indonesia. Politik uang tidak hanya merusak kualitas demokrasi, tetapi juga membahayakan masa depan daerah yang membutuhkan pemimpin yang dapat membawa perubahan. Jika masyarakat terus terjebak dalam pola pikir transaksional, maka masa depan daerah ini akan terus terabaikan.
Diperlukan kesadaran bersama bahwa politik bukanlah soal siapa yang membayar lebih, tetapi soal siapa yang memiliki visi dan integritas untuk memimpin dengan baik. Tanpa kesadaran ini, Pilkada 2024 akan berakhir sebagai ajang dagang janji, di mana janji kampanye menjadi sekadar barang dagangan yang bisa dibeli dengan uang. *Mukroni
Foto Kompas
- Berita Terkait :
Brutalitas di Forum Kebangsaan: Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk ?
Rakyat Milih, Partai yang Putuskan: Demokrasi Ala Kadar
Anak Muda Terhalang Masuk Pilkada 2024: Politik Elitis dan Biaya Selangit Jadi Penghambat!
Konflik Tak Berujung PKB dan Pengurus NU: Perebutan Pengaruh dan Legitimasi
Kabinet Zaken Prabowo: Membangun Pemerintahan Berbasis Keahlian di Era Modern
Penambahan Kementerian untuk Efektivitas Pemerintahan: Langkah Strategis Kabinet Prabowo-Gibran
Mengembalikan Politik ke Publik: Evaluasi Keputusan MK dan Usulan Reformasi Ambang Batas
Pilkada 2024: Ketika Keluarga Menguasai Panggung Politik
Strategi Politik Jokowi di Akhir Jabatan: Desakan Pembahasan RUU Perampasan Aset dan Tuduhan Gimik
Calon Tunggal Menjamur: Tantangan Baru Demokrasi di Pilkada 2024
Kesepakatan DPR dan KPU pada PKPU Pencalonan: Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi
Pilkada 2024: KPU Umumkan Jadwal Pendaftaran dan Revisi Aturan Pencalonan Sesuai Putusan MK
Presiden Jokowi Ikuti Putusan MK, Tolak Perppu Pilkada Setelah Revisi UU Batal
Pilkada 2024 Akan Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi: Penegasan Komisi II DPR
Keputusan MK Soal Pilkada 2024: Jalan Terbuka bagi Partai Kecil dan Kandidat Alternatif
Megawati Soekarnoputri: Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Langgar Konstitusi
PDI-P Unggul dalam Pemilu Legislatif 2024, Delapan Partai Politik Duduki Kursi DPR
Anies Baswedan Resmi Diusung NasDem untuk Pilgub DKI Jakarta 2024
Pilpres 2024: Lima Sorotan Utama dari Sidang Perdana Gugatan di MK
Perjalanan Indonesia dari Federalisme ke Negara Kesatuan: Tantangan dan Perkembangan Pasca-RIS
Gibran sebagai Cawapres: DKPP Ambil Tindakan Serius Terhadap KPU dan Hasyim Asyari
Kowantara Bersatu untuk Mendukung AMIN, Anies dan Muhaimin: Merajut Kekuatan Bersama
Presiden Jokowi Ajak Warga Singapura Tinggal di IKN, Menterinya Melarang Warteg di IKN
Kowantara Bersatu untuk Mendukung AMIN, Anies dan Muhaimin: Merajut Kekuatan Bersama
HIKAPINDO Perjuangkan Kader Penyuluh Indonesia di DPR RI
Apa Isi Risalah At-Tauhid Sidoresmo Surabaya Untuk Anies Baswedan ?
DISKUSI PUBLIK CONTINUUM BIGDATA CENTER : “DINAMIKA POLITIK MENUJU 2024, APA KATA BIG DATA?”
Menggali Asa Warteg: Perspektif Terhadap Pembangunan Multi-Kota
Implikasi Kepresidenan Prabowo: Faisal Basri Ramal Utang RI Tembus Rp16.000 T
Pedagang Warteg dan Daya Beli Masyarakat Tertatih-tatih Di Akhir Jabatan Jokowi
Warteg Bakal Dilarang di IKN, Begini Saran Kowantara
Ayo Gibran Bersuara Jangan Diam !, Ada Menteri yang Sebelah Mata Terhadap Warteg
Presiden Jokowi Ajak Warga Singapura Tinggal di IKN, Menterinya Melarang Warteg di IKN
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Top