Jakarta, Kowantaranews.com -Di tengah gegap gempita janji Presiden Prabowo Subianto untuk mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia ke level 8% pada 2029, badai krisis justru mengancam menghancurkan mimpi tersebut. Konsumsi rumah tangga—mesin utama penggerak ekonomi—kolaps, deflasi berkepanjangan menggerogoti kepercayaan pasar, dan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal menyapu sektor formal. Para ekonom memperingatkan: tanpa langkah darurat, target pertumbuhan 8% hanya akan menjadi ilusi, bahkan berpotensi memicu resesi dalam 2 tahun ke depan.
Daya Beli Rakyat Rontok: Konsumsi Rumah Tangga Kolaps!
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) anjlok ke level terendah sepanjang sejarah: 54,04%. Angka ini turun drastis dari puncaknya di 1999 (73,94%) dan menandai tren penurunan selama 25 tahun terakhir. Padahal, selama setengah abad, konsumsi rumah tangga adalah tulang punggung ekonomi Indonesia.
Edwin (31), guru SD swasta di Jakarta Barat, adalah potret nyata krisis ini. Dengan gaji Rp 3,4 juta per bulan—hanya 63% dari Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta (Rp 5,39 juta)—ia terpaksa mengencangkan ikat pinggang. “Makan siang cuma Rp 10.000, bensin Rp 15.000. Kalau sakit atau ada kebutuhan mendadak, terpaksa utang,” keluhnya. Selama 5 tahun mengajar, gajinya tak pernah naik, sementara harga sembako melambung 20-30% sejak 2023.
Bukan hanya kelas menengah ke bawah yang tercekik. Sep (29), mantan konsultan pemerintah di Jawa Timur, kehilangan pekerjaan Februari 2024. “Dulu setiap Lebaran bagi-bagi parsel ke keluarga. Sekarang, untuk makan sehari-hari saja susah,” ujarnya pilu. Tabungannya habis dalam 3 bulan, dan ia kini mengais penghasilan dari jualan online yang sepi pembeli.
Peneliti LPEM FEB UI, Jahen F Rezki, mengonfirmasi: “Pertumbuhan konsumsi rumah tangga 2024 hanya 4,94%, lebih rendah dari pertumbuhan PDB (5,03%). Ini alarm merah! Jika daya beli terus merosot, ekonomi bisa masuk jurang resesi.”
Deflasi Menggila: Bukan Berkah, Tapi Bencana ?
Pemerintah sempat bersorak ketika inflasi Februari 2025 tercatat -0,09%, mengira ini pertanda harga terkendali. Namun, para ekonom justru merinding. Deflasi berkelanjutan sejak Mei 2024 (inflasi 3%) hingga Februari 2025 adalah cermin dari permintaan masyarakat yang ambruk.
Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif INDEF, memaparkan: “Deflasi bukan karena supply melimpah, tapi karena rakyat tak mampu beli. Harga turun, tapi daya beli turun lebih cepat.” Contoh nyata: harga beras premium turun 5% (Rp 12.800/kg ke Rp 12.160/kg), tetapi penjualan di pasar tradisional merosot 40%.
Sektor ritel pun kelimpungan. Yongky Susilo, Pengurus Hippindo, mengaku: “Omzet mal-mal di Jabodetabek turun 25-30% sejak 2024. Banyak tenant tutup, PHK karyawan tak terhindarkan.” Data Aprindo menyebut, 1.200 gerai ritel tutup sepanjang 2024, mem-PHK 45.000 pekerja.
Baca juga : RITEL INDONESIA MENANGIS! Data BPS Bongkar Pahitnya Realita: ‘Lebaran Ini Tak Ada yang Menang’
Baca juga : Gempuran Koperasi Desa Merah Putih: 70.000 Pusat Ekonomi Baru Siap Mengubah Indonesia!
Baca juga : 1 Juta Mimpi Terhambat: UMKM Berjuang Melawan Kredit Macet
PHK Massal Serbu Ekonomi: Sektor Formal Ambrol ?
Gelombang PHK menjadi momok menakutkan. PT Sri Rejeki Isman (Sritex), raksasa tekstil nasional, mem-PHK 15.000 karyawan setelah dinyatakan pailit Oktober 2024. Tidak hanya industri tekstil, sektor teknologi seperti e-commerce dan startup fintech juga melakukan efisiensi besar-besaran. Data Kemnaker mencatat 320.000 pekerja formal kehilangan pekerjaan sepanjang 2024—angka tertinggi sejak krisis 1998.
Setyo Budiantoro, Peneliti The Prakarsa, memperingatkan efek domino PHK: “Setiap 1 orang di-PHK, daya beli 3-4 orang keluarga ikut rontok. Ini lingkaran setan yang mempercepat kontraksi ekonomi.”
Kisah Rina (28), mantan karyawan Sritex, menggambarkan betapa suramnya situasi. “Gaji saya Rp 4,2 juta sebulan. Sekarang jadi pengangguran, ngontrak di Semarang pun tak mampu. Pulang ke desa, tapi di sana juga tak ada lowongan,” ujarnya sambil menahan tangis.
Kilas Balik: Indonesia Pernah Tumbuh 8%, Tapi…
Presiden Prabowo kerap menyebut Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekonomi 8-10% pada era 1970-1990an. Namun, Esther Sri Astuti mengingatkan konteks yang berbeda: “Di era 80-an, konsumsi rumah tangga tumbuh 12% per tahun didorong kenaikan upah riil 7-8%. Sekarang, upah riil stagnan, bahkan minus karena inflasi.”
Faktor lain yang kini hilang: belanja pemerintah agresif. Di era Orde Baru, anggaran infrastruktur dan subsidi mencapai 30% APBN. Kini, anggaran 2025 dipangkas untuk efisiensi, dengan alasan defisit APBN harus dijaga di bawah 3%.
Jahen Rezki menambahkan: “Ekspor dan investasi juga tak bisa diandalkan. Pelemahan ekonomi global dan perang dagang AS-China membuat ekspor Indonesia tertekan. Investasi asing? Mereka lari ke Vietnam dan India yang upah buruhnya lebih murah.”
RPJMN 2025-2029: Target 8% atau Fatamorgana?
Pemerintah mengeluarkan Perpres No. 12/2025 tentang RPJMN 2025-2029, menargetkan pertumbuhan ekonomi bertahap: 5,3% (2025), 6,3% (2026), 7,5% (2027), dan 7,7% (2028). Namun, 90% ekonom yang diwawancarai Kompas menyebut target ini utopis.
Simulasi BPS menunjukkan: untuk mencapai pertumbuhan 8%, konsumsi rumah tangga harus tumbuh minimal 9% per tahun. Syaratnya: kenaikan upah riil 10% per tahun dan penciptaan 3 juta lapangan kerja baru tiap tahun. Kenyataannya, upah riil 2024 hanya naik 2,1%, sementara PHK justru terjadi di mana-mana.
Jalan Keluar: Darurat Nasional atau Terjun Bebas?
Para pakar memberikan opsi darurat:
- Hemat Energi, Fokus pada Sektor Padat Karya: Alihkan anggaran infrastruktur megaproyek ke UMKM dan pertanian.
- Revolusi Subsidi: Berikan bantuan tunai bersyarat (cash transfer) langsung ke 40% penduduk termiskin, alih-alih subsidi BBM yang dinikmati kelas menengah.
- Revolusi Pelatihan Kerja: Bentuk “Sekolah Vokasi Darurat” untuk mengatasi mismatch keterampilan tenaga kerja.
- Pemangkasan Bunga Kredit: Dorong BI menurunkan suku bunga acuan ke 3% untuk memicu kredit UMKM.
Namun, pemerintah justru berencana menaikkan PPN dari 11% ke 12% pada 2026—kebijakan yang disebut Yongky Susilo sebagai “bom waktu” yang akan memperparah daya beli.
Mimpi 8% atau Bencana Ekonomi?
Dengan daya beli yang rontok, deflasi berkepanjangan, dan PHK massal, target pertumbuhan 8% Prabowo ibarat membangun istana pasir di tengah tsunami. Tanpa perubahan drastis dalam kebijakan fiskal dan perlindungan sosial, Indonesia bukan hanya gagal mencapai target, tetapi berisiko masuk dalam jurang resesi berkepanjangan.
Esther Sri Astuti menutup dengan pesan suram: “Jika tak ada aksi nyata dalam 6 bulan ke depan, pertumbuhan 2025 bahkan bisa di bawah 4%. Presiden harus pilih: turun dari menara gading atau siap menghadapi amukan rakyat kelaparan.” By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait
RITEL INDONESIA MENANGIS! Data BPS Bongkar Pahitnya Realita: ‘Lebaran Ini Tak Ada yang Menang’
Gempuran Koperasi Desa Merah Putih: 70.000 Pusat Ekonomi Baru Siap Mengubah Indonesia!
1 Juta Mimpi Terhambat: UMKM Berjuang Melawan Kredit Macet
Warteg Jadi Garda Terdepan Revolusi Gizi Nasional!
Skema Makan Bergizi Gratis: Asa Besar yang Membebani UMKM
Revolusi Gizi: Makan Gratis untuk Selamatkan Jutaan Jiwa dari Kelaparan
Gebrakan Sejarah: Revolusi Makan Bergizi Gratis, Ekonomi Lokal Bangkit!
PPN 12 Persen: Harapan atau Ancaman Bagi Ekonomi Rakyat?
Menuju Indonesia Tanpa Impor: Mimpi Besar atau Bom Waktu?
Gebrakan PPN 12 Persen: Strategi Berani yang Tak Menjamin Kas Negara Melejit!
Rupiah di Ujung Tanduk: Bank Indonesia Siapkan “Senjata Pamungkas” untuk Lawan Gejolak Dolar AS!
PPN Naik, Dompet Rakyat Tercekik: Ancaman Ekonomi 2025 di Depan Mata!
12% PPN: Bom Waktu untuk Ekonomi Rakyat Kecil
Rapat Elite Kabinet! Bahlil Pimpin Pertemuan Akbar Subsidi Energi demi Masa Depan Indonesia
Ekonomi Indonesia Terancam ‘Macet’, Target Pertumbuhan 8% Jadi Mimpi?
Janji Pemutihan Utang Petani: Kesejahteraan atau Jurang Ketergantungan Baru?
Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!
Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!
Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?
Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?
Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!
Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!
Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!
Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?
Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!
Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung