Jakarta, Kowantaranews.com — Perekonomian Indonesia sedang bergerak dalam kecepatan menuju jurang resesi. Data terbaru di awal 2025 mengonfirmasi kekhawatiran para ekonom: deflasi berkepanjangan, rupiah yang terkapar di level terendah sepanjang lima tahun terakhir, dan pasar saham yang ambles ke dasar jurang. Namun, yang paling mengiris hati adalah laporan tentang daya beli masyarakat yang hancur lebur, disertai fenomena “kepunahan” kelas menengah—kelompok yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional.
Pemerintah berusaha menampilkan wajah optimis, tetapi fakta di lapangan bicara lebih keras. Jika situasi ini tidak segera diatasi, Indonesia bisa menjadi cerita suram berikutnya dalam sejarah ekonomi global: negara dengan populasi keempat terbesar di dunia yang gagal menjaga stabilitas ekonominya sendiri.
Deflasi: Bukan Harga Turun, Tapi Daya Beli yang Mati Suri
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan deflasi selama dua bulan berturut-turut di Januari dan Februari 2025. Secara bulanan, Indeks Harga Konsumen (IHK) turun 0,76% di Januari dan 0,48% di Februari. Yang lebih mengkhawatirkan, deflasi tahunan di Februari 2025 tercatat -0,09%—pertama kali sejak Maret 2000.
Pemerintah bersikukuh bahwa deflasi ini adalah hasil kebijakan diskon harga listrik 50%, tarif tol, dan tiket transportasi. “Ini bukan karena permintaan rendah, tapi karena kebijakan administrasi harga,” tegas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (13/3/2025).
Namun, para ekonom menolak narasi itu. Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, menyatakan, “Deflasi ini cerminan permintaan yang lumpuh. Masyarakat tidak lagi mampu membeli, bahkan untuk kebutuhan dasar.” Data BPS menunjukkan, penurunan harga terjadi di hampir semua kelompok barang, mulai dari pangan, sandang, hingga perumahan. “Jika permintaan kuat, diskon kebijakan tidak akan menyebabkan deflasi berkepanjangan,” tambah Faisal.
Fakta di lapangan memperkuat analisis ini. Di Pasar Senen, Jakarta Pusat, seorang pedagang beras, Sutrisno (48), mengeluh, “Orang sekarang beli beras 2 kilogram saja mikir-mikir. Padahal sebelumnya 5 kilo langsung habis.” Fenomena serupa terjadi di sektor elektronik. Dian Sastri, manajer gerai ponsel di Bekasi, mengaku penjualan turun 40% sejak awal tahun. “Masyarakat lebih memilih memperbaiki HP lama daripada beli baru,” ujarnya.
Baca juga : Target 8% Prabowo Hancur Lebur ? Daya Beli Rontok, Deflasi Menggila, dan PHK Serbu Perekonomian Indonesia ?
Baca juga : RITEL INDONESIA MENANGIS! Data BPS Bongkar Pahitnya Realita: ‘Lebaran Ini Tak Ada yang Menang’
Baca juga : Gempuran Koperasi Desa Merah Putih: 70.000 Pusat Ekonomi Baru Siap Mengubah Indonesia!
Kelas Menengah Punah: Hilangnya Mesin Pertumbuhan Indonesia
Jika deflasi adalah gejala, maka akar penyakitnya adalah runtuhnya kelas menengah. Data terbaru CORE Indonesia menyebut, populasi kelas menengah Indonesia—yang berpenghasilan Rp 5-30 juta per bulan—turun dari 52% pada 2022 menjadi 43% di awal 2025. “Ini bukan penurunan, tapi kehancuran,” tegas Faisal.
Kelas menengah adalah kelompok yang selama dua dekade menjadi motor konsumsi domestik, penggerak UMKM, dan penopang pasar properti. Kini, mereka terjepit antara inflasi pasca-pandemi, kenaikan harga energi global, dan kebijakan fiskal yang tidak berpihak. Fithra Faisal Hastiadi, ekonom PT Samuel Sekuritas, menjelaskan, “Banyak keluarga kelas menengah yang terpaksa turun ke strata bawah karena penghasilan riil tergerus. Mereka yang dulu makan di restoran, sekarang beralih ke warteg. Yang dulu liburan ke Bali, sekarang cukup staycation di rumah.”
Kisah Andi Pratama (37), seorang karyawan swasta di Jakarta, mewakili realitas pahit ini. Gajinya yang Rp 12 juta per bulan kini tidak lagi cukup untuk membayar cicilan rumah, biaya sekolah anak, dan kebutuhan sehari-hari. “Saya sudah menjual motor dan berhenti langganan Netflix. Tapi tetap saja, setiap akhir bulan harus pinjam ke tetangga,” keluhnya.
Dampaknya terlihat jelas di sektor properti. Asosiasi Pengembang Perumahan Indonesia (APERSI) melaporkan, penjualan rumah subsidi turun 25% di kuartal pertama 2025. “Banyak calon pembeli yang gagal kredit karena bank ketat menilai kemampuan bayar,” kata Ketua APERSI, Budiarsa Suryadi.
Rupiah Tumbang, Pasar Saham Jadi Kuburan Investor
Tekanan ekonomi semakin menjadi-jadi dengan melemahnya rupiah ke level Rp 16.575 per dolar AS pada akhir Februari 2025—terburuk sejak krisis 2020. Depresiasi ini dipicu oleh pelarian modal asing (capital outflow) yang mencapai Rp 31 triliun dalam sebulan. “Investor asing kehilangan kepercayaan pada kemampuan Indonesia menjaga stabilitas fiskal,” kata Hosianna Situmorang, ekonom Bank Danamon.
Pasar saham pun tak luput dari badai. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok ke level 6.300—terendah sejak 2021—setelah terkoreksi 11% sejak awal tahun. Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksa mengambil langkah darurat: menunda perdagangan short selling dan mempermudah buyback saham. “Ini situasi kritis. Jika tidak dikendalikan, IHSG bisa jatuh ke level 5.000,” kata seorang analis pasar modal yang enggan disebut namanya.
APBN 2025: Defisit Melejit, Pajak Anjlok, dan Utang Menjerat
Kementerian Keuangan melaporkan defisit APBN 2025 mencapai Rp 31,2 triliun (0,13% PDB) hanya dalam dua bulan pertama tahun ini—sebuah anomali mengingat biasanya APBN masih surplus di periode yang sama. Penyebab utamanya: penerimaan pajak yang anjlok 22% dibandingkan proyeksi.
Mundur-majunya kebijakan PPN dan kegagalan sistem Coretax disebut sebagai biang kerok. Padahal, pemerintah berencana menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% di pertengahan tahun. “Ketidakpastian kebijakan ini membuat wajib pajak menunda transaksi. Hasilnya, penerimaan kolaps,” ujar Fithra.
Di sisi lain, belanja pemerintah justru membengkak, terutama untuk program sosial dan subsidi energi. Utang Indonesia pun terus menanjak, dengan rasio utang terhadap PDB diperkirakan mencapai 42% di akhir 2025—melampaui batas aman UU Keuangan Negara (40%). “Jika defisit tidak dikontrol, Indonesia bisa kehilangan investment grade-nya. Ini akan menjadi bencana,” tambah Hosianna.
Resesi di Depan Mata: Akankah Indonesia Mengulang Sejarah 1998?
Para ekonom kini ramai membandingkan situasi ini dengan krisis 1998. Meski skala dan konteksnya berbeda, kemiripannya terletak pada tiga faktor: melemahnya nilai tukar, hancurnya daya beli, dan kepercayaan investor yang runtuh.
Sri Mulyani berusaha meredakan kepanikan dengan menyoroti neraca perdagangan yang surplus $3,5 miliar di Januari 2025 dan masuknya investasi asing Rp 216 triliun sepanjang 2024. “Fundamental ekonomi Indonesia masih kuat,” tegasnya.
Namun, para pengamat skeptis. “Surplus perdagangan itu hanya karena impor yang turun drastis, bukan ekspor yang naik. Ini justru indikator resesi,” bantah Mohammad Faisal. Data BPS menunjukkan, impor barang konsumsi turun 18% di Januari 2025—tanda jelas masyarakat mengurangi belanja.
Jalan Keluar: Mampukah Pemerintah Menghindarkan Bencana?
Untuk mencegah resesi, pemerintah didesak mengambil langkah luar biasa:
- Revitalisasi kebijakan fiskal dengan menggenjot penerimaan pajak melalui reformasi sistem dan penindakan korupsi.
- Stimulus langsung ke masyarakat, seperti bantuan tunai bersyarat dan subsidi energi yang tepat sasaran.
- Stabilisasi nilai tukar melalui kerja sama BI dan pemerintah untuk mencegah spekulasi.
- Pemulihan kepercayaan investor dengan kebijakan yang konsisten dan transparan.
Namun, waktu semakin sempit. “Jika dalam 3 bulan ke depan tidak ada terobosan, resesi tidak bisa dihindari,” pungkas Fithra.
Epilog: Rakyat Menanti Kepastian di Tengah Kegelapan
Di sudut-sudut kota, rakyat kecil terus bergulat dengan harga sembako yang tak kunjung stabil. Sementara di gedung-gedung pencakar langit, investor asing sibuk memindahkan dananya ke negara lain. Pemerintah mungkin masih bisa tersenyum di depan kamera, tetapi di balik layar, alarm resesi sudah berbunyi nyaring. Pertanyaannya: akankah Indonesia bangkit dari tepi jurang—atau justru terjun bebas mengulang sejarah kelam? By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait
RITEL INDONESIA MENANGIS! Data BPS Bongkar Pahitnya Realita: ‘Lebaran Ini Tak Ada yang Menang’
Gempuran Koperasi Desa Merah Putih: 70.000 Pusat Ekonomi Baru Siap Mengubah Indonesia!
1 Juta Mimpi Terhambat: UMKM Berjuang Melawan Kredit Macet
Warteg Jadi Garda Terdepan Revolusi Gizi Nasional!
Skema Makan Bergizi Gratis: Asa Besar yang Membebani UMKM
Revolusi Gizi: Makan Gratis untuk Selamatkan Jutaan Jiwa dari Kelaparan
Gebrakan Sejarah: Revolusi Makan Bergizi Gratis, Ekonomi Lokal Bangkit!
PPN 12 Persen: Harapan atau Ancaman Bagi Ekonomi Rakyat?
Menuju Indonesia Tanpa Impor: Mimpi Besar atau Bom Waktu?
Gebrakan PPN 12 Persen: Strategi Berani yang Tak Menjamin Kas Negara Melejit!
Rupiah di Ujung Tanduk: Bank Indonesia Siapkan “Senjata Pamungkas” untuk Lawan Gejolak Dolar AS!
PPN Naik, Dompet Rakyat Tercekik: Ancaman Ekonomi 2025 di Depan Mata!
12% PPN: Bom Waktu untuk Ekonomi Rakyat Kecil
Rapat Elite Kabinet! Bahlil Pimpin Pertemuan Akbar Subsidi Energi demi Masa Depan Indonesia
Ekonomi Indonesia Terancam ‘Macet’, Target Pertumbuhan 8% Jadi Mimpi?
Janji Pemutihan Utang Petani: Kesejahteraan atau Jurang Ketergantungan Baru?
Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!
Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!
Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?
Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?
Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!
Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!
Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!
Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?
Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!
Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung