Jakarta, Kowantaranews.com -Aryeh Neier, seorang veteran dengan pengalaman lebih dari enam dekade dalam gerakan hak asasi manusia, menawarkan perspektif mendalam tentang penggunaan istilah “genosida” dalam konteks kekerasan antara Israel dan Hamas. Dalam pengalamannya, istilah tersebut sangat jarang digunakan, bahkan dalam situasi kekerasan yang ekstrem. Neier, yang merupakan salah satu pendiri Human Rights Watch (HRW) pada tahun 1978, menjelaskan bahwa selama masa jabatannya di HRW, ia hanya menerapkan istilah itu pada satu dari banyak kejahatan besar yang mereka pantau: pembantaian Kurdi Irak oleh Saddam Hussein pada tahun 1988.
Selama bertahun-tahun, gerakan hak asasi manusia telah berupaya memulihkan perdamaian dengan menegakkan Hukum Humaniter Internasional, yang mengatur bagaimana konflik bersenjata harus dijalankan untuk melindungi warga sipil dan menetapkan tanggung jawab bagi pelanggaran. Namun, penerapan hukum ini sering kali bergantung pada bukti konkret, penyelidikan menyeluruh, dan komitmen politik untuk menegakkan keadilan.
Kasus Pembantaian Kurdi Irak
Neier menggambarkan pembantaian Kurdi Irak oleh Saddam Hussein sebagai contoh jelas di mana istilah “genosida” dapat diterapkan. Selama Perang Iran-Irak tahun 1980–1988, Kurdi di Irak mengalami pelanggaran berat di bawah kediktatoran Saddam. Mereka memberontak melawan pemerintahan yang represif, dan sebagai tanggapan, Saddam menggunakan senjata kimia untuk melawan mereka, sama seperti yang dilakukannya terhadap pasukan Iran.
Serangan yang paling mengerikan terjadi pada bulan Maret 1988 terhadap kota Halabja di wilayah Kurdi, yang menewaskan sekitar lima ribu orang. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya, pasukan Saddam mengumpulkan pria dan anak laki-laki Kurdi dari Irak utara dan mengangkut mereka ke daerah gurun. Di sana, buldoser menggali parit-parit besar di pasir. Ribuan korban dipaksa masuk ke dalam parit, ditembak dengan senapan mesin, dan dikubur di tempat.
HRW membutuhkan waktu lebih dari dua tahun untuk menemukan dan mendokumentasikan pembunuhan serta penguburan di gurun pasir tersebut. Salah satu saksi penting yang memberikan informasi adalah seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun bernama Taymour Abdullah Ahmad, yang berhasil keluar dari parit dengan peluru di punggungnya. Sebuah keluarga Badui menemukannya dan merawatnya hingga sembuh. Dua tahun kemudian, Ahmad kembali ke wilayah Kurdi di Irak, di mana HRW bisa mendapatkan ceritanya dan menemukan beberapa orang yang selamat lainnya.
Konflik Israel dan Hamas
Dalam konteks konflik Israel dan Hamas, penggunaan istilah “genosida” lebih kompleks dan kontroversial. Konflik ini telah berlangsung selama beberapa dekade, dengan kekerasan berulang yang menimbulkan banyak korban jiwa dan penderitaan di kedua belah pihak. Namun, untuk membuktikan klaim genosida, diperlukan bukti yang sangat kuat dan spesifik, seperti yang ditemukan dalam kasus pembantaian Kurdi di Irak.
Hukum Humaniter Internasional dan organisasi hak asasi manusia terus bekerja untuk mendokumentasikan dan mengejar keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia dalam konflik ini. Namun, proses ini sering kali panjang dan kompleks. Penegakan hukum internasional bergantung pada bukti yang jelas dan dapat diverifikasi, serta dukungan politik yang diperlukan untuk membawa para pelanggar ke pengadilan.
Definisi Genosida dan Tantangannya
Genosida didefinisikan secara hukum sebagai tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, kelompok nasional, etnis, ras, atau agama tertentu. Tindakan tersebut mencakup pembunuhan anggota kelompok, menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang serius, memaksakan kondisi kehidupan yang dirancang untuk menghancurkan kelompok secara fisik, dan tindakan lain yang merusak integritas kelompok.
Dalam konflik Israel dan Hamas, banyak tuduhan telah diajukan terkait pelanggaran hak asasi manusia. Namun, untuk mengkategorikan tindakan tersebut sebagai genosida, diperlukan bukti yang menunjukkan niat untuk menghancurkan kelompok tertentu secara keseluruhan atau sebagian. Bukti ini harus sangat jelas dan spesifik, yang sering kali sulit diperoleh dalam situasi konflik yang rumit dan dinamis.
Baca juga : Menteri Pertahanan Spanyol Sebut Konflik Gaza sebagai ‘Genosida Nyata’ di Tengah Pengakuan Palestina
Baca juga : Nyanyian Wakil PM Spanyol ‘Dari Sungai ke Laut’ Membuat Marah Israel
Baca juga : Seth Rogen: Saya Diberi Banyak Kebohongan tentang Israel
Upaya Menuju Keadilan
Meskipun ada klaim genosida dalam konflik Israel dan Hamas, penegakan keadilan melalui Hukum Humaniter Internasional memerlukan penyelidikan menyeluruh dan komitmen kuat dari komunitas internasional. Organisasi seperti HRW dan banyak lembaga lainnya terus bekerja untuk mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia dan mengadvokasi keadilan bagi para korban.
Salah satu tantangan terbesar dalam menegakkan keadilan adalah mengumpulkan bukti yang memadai untuk mendukung klaim pelanggaran serius, termasuk genosida. Proses ini melibatkan wawancara dengan saksi, pengumpulan dokumentasi, analisis forensik, dan banyak lagi. Selain itu, ada hambatan politik yang sering kali menghalangi upaya untuk membawa para pelanggar ke pengadilan internasional.
Komitmen Terus Menerus
Aryeh Neier dan rekan-rekannya di HRW serta organisasi hak asasi manusia lainnya tetap berkomitmen untuk menegakkan prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional. Mereka bekerja tanpa lelah untuk memastikan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak dibiarkan begitu saja dan bahwa para pelanggar dihadapkan pada keadilan.
Dalam kasus pembantaian Kurdi di Irak, bukti yang dikumpulkan dan kesaksian yang diperoleh akhirnya mengarah pada pengakuan internasional terhadap kejahatan yang terjadi. Proses ini menunjukkan bahwa dengan dedikasi dan upaya yang berkelanjutan, keadilan dapat dicapai, meskipun sering kali membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Aryeh Neier: Pejuang Hak Asasi Manusia dengan Warisan yang Luar Biasa (Wikipidia)
Kehidupan dan Warisan Aryeh Neier
Aryeh Neier (lahir 22 April 1937) adalah seorang aktivis hak asasi manusia Amerika yang memiliki pengaruh besar dalam gerakan hak asasi manusia internasional. Ia dikenal sebagai salah satu pendiri Human Rights Watch (HRW), sebuah organisasi yang kini menjadi salah satu lembaga terkemuka dalam advokasi hak asasi manusia di seluruh dunia. Selain itu, Neier juga menjabat sebagai presiden Open Society Institute (sekarang Open Society Foundations) milik George Soros dari tahun 1993 hingga 2012. Perannya dalam berbagai organisasi, termasuk sebagai Direktur Nasional Persatuan Kebebasan Sipil Amerika (ACLU) dari tahun 1970 hingga 1978, menunjukkan dedikasinya yang mendalam terhadap perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Ia juga terlibat dalam pembentukan grup pelajar, Students for a Democratic Society (SDS), dengan memainkan peran penting dalam penggantian nama grup dari Student League for Industrial Democracy (SLID) .
Kehidupan Awal dan Pendidikan
Neier dilahirkan dalam keluarga Yahudi Jerman di Berlin, yang pada saat itu berada di bawah rezim Nazi. Ia adalah putra dari Wolf Neier, seorang guru, dan Gitla Bendzinska. Pada tahun 1939, ketika Aryeh masih berusia dua tahun, keluarganya terpaksa melarikan diri dari Jerman karena ancaman Nazi terhadap orang-orang Yahudi. Mereka menjadi pengungsi dan akhirnya menetap di Amerika Serikat. Pengalaman ini membentuk pandangan dan komitmen Neier terhadap perjuangan hak asasi manusia dan kebebasan .
Neier melanjutkan pendidikannya di Amerika Serikat dan berhasil lulus dari Cornell University dengan penghargaan tertinggi pada tahun 1961. Pendidikan di Cornell membekalinya dengan pengetahuan dan keterampilan yang kemudian ia gunakan untuk mengadvokasi hak asasi manusia sepanjang kariernya .
Karier dan Pencapaian
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Aryeh Neier segera terjun ke dunia advokasi hak asasi manusia. Pada tahun 1970, ia diangkat sebagai Direktur Nasional ACLU, sebuah organisasi yang berkomitmen untuk mempertahankan dan melindungi hak-hak sipil dan kebebasan individu di Amerika Serikat. Di bawah kepemimpinannya, ACLU memperluas cakupannya dan semakin aktif dalam berbagai isu hak sipil.
Baca juga : Bernie Sanders Mengutuk Dukungan AS terhadap Perang Netanyahu di Palestina dalam Pidato di Senat
Baca juga : Dave Chappelle Sebut Ada ‘Genosida’ di Jalur Gaza Saat Perang Israel-Hamas Berlangsung di Abu Dhabi
Pada tahun 1978, Neier bersama beberapa rekannya mendirikan Human Rights Watch. Organisasi ini bertujuan untuk memantau, mendokumentasikan, dan mengadvokasi hak asasi manusia di seluruh dunia. HRW menggunakan pendekatan berbasis bukti untuk mengungkap pelanggaran hak asasi manusia dan mendorong perubahan melalui advokasi dan laporan yang komprehensif. Neier memainkan peran kunci dalam membangun kredibilitas dan pengaruh HRW di panggung internasional .
Dari tahun 1993 hingga 2012, Neier menjabat sebagai presiden Open Society Institute (OSI), sebuah jaringan filantropi yang didirikan oleh George Soros. OSI mendukung berbagai inisiatif yang bertujuan untuk mempromosikan demokrasi, hak asasi manusia, dan reformasi sosial di seluruh dunia. Di bawah kepemimpinan Neier, OSI memperluas program-programnya dan meningkatkan dampaknya dalam berbagai isu global .
Komitmen dan Pengaruh
Sepanjang kariernya, Aryeh Neier telah menunjukkan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap perlindungan hak asasi manusia. Pengalamannya sebagai pengungsi di masa kecil memberinya perspektif unik dan dorongan untuk bekerja demi keadilan dan kebebasan bagi semua orang. Keterlibatannya dalam berbagai organisasi hak asasi manusia dan inisiatif filantropi menunjukkan dedikasinya untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih adil dan manusiawi.
Neier juga terlibat dalam pembentukan grup pelajar SDS, yang berperan penting dalam gerakan mahasiswa pada tahun 1960-an. SDS awalnya dibentuk sebagai SLID, tetapi kemudian diubah namanya dengan keterlibatan langsung Neier dan rekan-rekannya. SDS menjadi salah satu organisasi mahasiswa yang paling berpengaruh pada masa itu, dengan fokus pada isu-isu sosial dan politik yang relevan .
Kesimpulan
Aryeh Neier adalah sosok penting dalam sejarah gerakan hak asasi manusia. Kontribusinya melalui berbagai organisasi, termasuk HRW dan OSI, telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam perjuangan untuk keadilan dan hak asasi manusia. Kehidupan dan karyanya menginspirasi banyak orang untuk terus berjuang demi dunia yang lebih baik, di mana hak asasi manusia dihormati dan dilindungi. Sebagai seorang aktivis yang berdedikasi, Neier menunjukkan bahwa dengan komitmen dan kerja keras, perubahan nyata dapat dicapai.
Penggunaan istilah “genosida” dalam konflik Israel dan Hamas memerlukan kehati-hatian dan bukti yang kuat. Aryeh Neier menekankan bahwa, meskipun situasi kekerasan yang ekstrem sering kali menimbulkan tuduhan genosida, pembuktian klaim tersebut memerlukan standar bukti yang sangat tinggi. Hukum Humaniter Internasional memberikan landasan untuk menegakkan keadilan bagi para korban, tetapi proses ini memerlukan komitmen dan kerja keras dari berbagai pihak.
Sebagai aktivis hak asasi manusia yang berpengalaman, Neier mengingatkan kita bahwa mengejar keadilan dalam konflik bersenjata adalah tugas yang kompleks dan menantang. Namun, dengan dedikasi yang berkelanjutan, komunitas internasional dapat bekerja untuk memastikan bahwa pelanggaran hak asasi manusia diakui dan bahwa para pelanggar dihadapkan pada keadilan, membawa harapan bagi korban kekerasan di seluruh dunia. *Mukroni
Sumber www.nybooks.com
Foto Kowantaranews.com
- Berita Terkait :
Menteri Pertahanan Spanyol Sebut Konflik Gaza sebagai ‘Genosida Nyata’ di Tengah Pengakuan Palestina
Nyanyian Wakil PM Spanyol ‘Dari Sungai ke Laut’ Membuat Marah Israel
Seth Rogen: Saya Diberi Banyak Kebohongan tentang Israel
Bernie Sanders Mengutuk Dukungan AS terhadap Perang Netanyahu di Palestina dalam Pidato di Senat
Dave Chappelle Sebut Ada ‘Genosida’ di Jalur Gaza Saat Perang Israel-Hamas Berlangsung di Abu Dhabi
Mahkamah Internasional Perintahkan Israel Hentikan Operasi Militer di Rafah, Kepatuhan Diragukan
Senator Sanders Mengutuk Pernyataan Menteri Pertahanan Israel tentang Gaza sebagai Barbarisme
Israel Melobi Pejabat Jerman untuk Mengecam Surat Perintah Penangkapan ICC terhadap Netanyahu
Arab Saudi Sambut Baik Pengakuan Palestina oleh Norwegia, Irlandia, dan Spanyol
Arab Saudi Serukan Hak Hidup Aman bagi Warga Palestina dalam Pertemuan OKI di Jeddah
Kolombia Tegaskan Dukungan bagi Palestina: Pendekatan Baru di Bawah Kepemimpinan Presiden Petro
Krisis Kemanusiaan di Gaza Semakin Memperburuk, PBB Hentikan Distribusi Makanan di Rafah
Prof. Mearsheimer: Pembersihan Etnis atau Solusi Damai? Analisis Krisis Israel
Utusan Palestina: Israel Berniat ‘Menggusur, Menundukkan, atau Membunuh’ Warga Gaza
Insiden di Mahkamah Internasional: Pengacara Israel Disebut ‘Pembohong’ oleh Pengamat Selama Sidang
Raja Saudi Salman Dirawat karena Radang Paru-paru di Istana Al Salam
Helikopter dalam Konvoi yang Membawa Presiden Iran Ebrahim Raisi Jatuh di Azerbaijan Timur
JPMorgan Chase Tarik Investasi dari Elbit Systems di Tengah Tekanan Kampanye Boikot
76 Tahun Nakba: Peringatan Sejarah dan Bencana yang Berkepanjangan di Gaza
Hakim Kanada Tolak Pembubaran Demo Pro-Palestina di Universitas McGill
Blokade Bantuan ke Gaza: Protes, Krisis Kelaparan, dan Konsekuensi Global
Netanyahu Tegaskan Israel Bukan “Negara Bawahan” AS di Tengah Ketegangan dengan Biden
Mayor Angkatan Darat AS Mengundurkan Diri untuk Memprotes Dukungan Amerika terhadap Israel di Gaza
Enam Sekutu Amerika Serikat Dukung Keanggotaan Penuh Palestina di PBB
Jeremy Corbyn di Rafah: ” Kisah Horor dan Harapan di Gaza: Panggilan untuk Keadilan dan Perdamaian”
Antony Blinken Mengecam Klaim Israel: Keadilan dan Kemanusiaan dalam Konflik Gaza
Mayoritas Warga Kanada Mendukung Protes di Kampus Universitas Menurut Jajak Pendapat Terbaru
Raja Denmark Mengibarkan Bendera Palestina: Solidaritas Global Menguat Setelah Badai Al-Aqsa
Gary Lineker: Tidak Bisa Diam Mengenai Konflik Gaza dan Kritik Terhadap Tindakan Israel
Kekuatan Opini Publik: Kim Kardashian dan Dampak #Blockout2024 Pro-Palestina
Perspektif Kritis Randa Jarrar: Hillary Clinton dalam Kacamata Seorang Profesor Studi Timur Tengah
Peringatan Raja Spanyol Felipe VI: Eskalasi Kekerasan di Gaza dan Panggilan untuk Aksi Global
Perayaan Cinta dan Solidaritas: Pengantin di Montreal Mengekspresikan Dukungan untuk Palestina
Bisan Owda dan AJ+ Raih Penghargaan Peabody atas Liputan Gaza
Grace Blakeley Mendorong Sanksi terhadap Israel dalam Debat BBC Question Time
Insiden Pelecehan Verbal di Arizona State University: Staf Pro-Israel Diberhentikan