Pada Senin, 5 Agustus 2024, Bangladesh mengalami krisis politik besar ketika Perdana Menteri Sheikh Hasina mengundurkan diri dan melarikan diri ke India. Langkah dramatis ini terjadi setelah berminggu-minggu protes dan kerusuhan yang dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem perekrutan pegawai negeri sipil (PNS) yang kontroversial di negara tersebut. Hasina, yang telah memimpin Bangladesh dalam dua periode berbeda, yaitu dari 1996 hingga 2001 dan dari 2009 hingga 2024, menghilang dari Istana Gono Bhaban di Dhaka dengan helikopter militer, membawa serta keluarganya ke Agartala, India.
Latar Belakang Kerusuhan
Kerusuhan di Bangladesh berakar pada ketidakpuasan yang mendalam terhadap sistem kuota dalam perekrutan PNS. Sistem ini telah berjalan selama puluhan tahun, memberikan jatah istimewa kepada anak-anak pejabat dan kroni mereka, serta kepada keturunan pejuang kemerdekaan. Para mahasiswa, yang menjadi ujung tombak protes ini, merasa bahwa sistem ini tidak adil dan menghalangi mereka mendapatkan pekerjaan meskipun memiliki kualifikasi yang tinggi.
Pada awalnya, Mahkamah Agung Bangladesh pada 2018 memutuskan untuk menghapus semua kuota dalam perekrutan PNS, sebuah langkah yang diterima baik oleh banyak pihak yang mendambakan meritokrasi. Namun, pada Juni 2024, mahkamah agung mengembalikan kuota sebesar 30 persen untuk anak cucu pejuang kemerdekaan, yang memicu kemarahan publik dan melahirkan protes besar-besaran.
Protes dan Eskalasi Kekerasan
Protes yang dimulai sebagai tuntutan untuk reformasi sistem kuota berkembang menjadi gerakan yang lebih luas menuntut pengunduran diri Sheikh Hasina. Demonstrasi mahasiswa yang awalnya damai berubah menjadi aksi kekerasan setelah bentrokan dengan aparat keamanan. Pembakaran toko-toko dan bangunan terjadi di beberapa bagian Dhaka, ibu kota Bangladesh, dan situasi semakin tidak terkendali.
Pada puncaknya, pada Minggu, 4 Agustus 2024, bentrokan tanpa henti antara pengunjuk rasa mahasiswa, pejabat keamanan, dan aktivis mahasiswa pro-pemerintah menyebabkan tewasnya sekitar 300 orang, termasuk 80 warga sipil dan 14 polisi. Militer, yang awalnya menjaga jarak, akhirnya harus turun tangan untuk meredakan situasi yang semakin memburuk.
Pengunduran Diri dan Pelarian Sheikh Hasina
Di tengah kekacauan tersebut, Sheikh Hasina memutuskan untuk mundur dari jabatannya. Pada Senin pagi, 5 Agustus 2024, ia dan keluarganya dibawa keluar dari Istana Gono Bhaban dengan helikopter militer ke Agartala, India. Langkah ini diambil setelah pengunjuk rasa berhasil menyerbu rumah dinasnya, memaksa Hasina untuk meninggalkan negara dengan segera demi keselamatannya.
Menurut laporan surat kabar lokal, Daily Star, Sheikh Hasina yang berusia 76 tahun meninggalkan Istana Gono Bhaban bersama adik perempuannya, Sheikh Rehana Siddiq. Awalnya, Hasina berencana untuk merekam pidato pengunduran diri, namun situasi keamanan yang mendesak membuat rencana tersebut tidak terwujud.
Baca juga : Kekerasan Terus Memanas di Inggris, Starmer Tegaskan Akan Hadapi Ekstremisme Sayap Kanan
Read more : Escalating Iran-Israel Tensions: New Phase of Middle Eastern Conflict Looms
Reaksi Militer dan Pemerintah Sementara
Setelah kepergian Hasina, militer Bangladesh mengumumkan pengunduran dirinya dan mulai mencari panduan untuk pembentukan pemerintahan sementara. KSAD Bangladesh, Jenderal Waker-uz-Zaman, menyatakan bahwa militer akan berbicara dengan semua partai politik kecuali Liga Awami yang dipimpin oleh Hasina. Ia mengimbau agar masyarakat tetap tenang dan menghentikan kekerasan yang telah menelan banyak korban jiwa.
Namun, langkah militer ini tidak diterima oleh semua pihak. Putra Hasina, Sajeeb Wazed Joy, yang tinggal di Amerika Serikat, menyuarakan penolakannya terhadap gagasan pembentukan pemerintahan sementara. Dalam sebuah unggahan di media sosial, ia menekankan bahwa militer harus menjaga rakyat dan menerapkan konstitusi, bukan membiarkan pemerintahan yang tidak dipilih oleh rakyat mengambil alih kekuasaan.
Tuntutan Mahasiswa dan Reformasi Kuota
Tuntutan utama dari para mahasiswa adalah reformasi sistem kuota dalam perekrutan PNS. Selama bertahun-tahun, sistem kuota ini telah menjadi sumber ketidakpuasan, terutama bagi generasi muda yang merasa terhalang oleh praktik nepotisme dan kolusi. Dari seluruh lowongan PNS di Bangladesh, hanya 44 persen yang diisi melalui seleksi berdasarkan merit, sementara 56 persen diisi berdasarkan kuota. Dari 56 persen itu, 30 persen diberikan kepada keturunan pejuang kemerdekaan, 10 persen untuk putra daerah, dan sisanya untuk perempuan, penyandang disabilitas, dan etnis minoritas.
Mahasiswa menuntut penghapusan atau setidaknya pengurangan kuota bagi keturunan pejuang kemerdekaan, dari 30 persen menjadi 5 persen. Mereka juga mendesak agar kuota lebih diarahkan kepada kelompok yang memerlukan afirmasi seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan etnis minoritas. Tuntutan ini muncul setelah keputusan Mahkamah Agung pada Juni 2024 yang mengembalikan kuota 30 persen untuk keturunan pejuang kemerdekaan, yang dianggap sebagai langkah mundur dari meritokrasi.
Sejarah dan Warisan Politik Sheikh Hasina
Sheikh Hasina adalah putri dari Sheikh Mujibur Rahman, presiden pertama Bangladesh yang dikenal sebagai Bapak Bangsa. Liga Awami, partai yang didirikan oleh ayahnya, memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan pada 1971. Setelah kemerdekaan, kuota PNS untuk keluarga pejuang kemerdekaan diresmikan sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi mereka.
Namun, sistem ini sejak lama mendapat kritik karena dianggap sebagai bentuk nepotisme yang menghambat profesionalisme dan efisiensi dalam pemerintahan. Pada 1973, Komisi Reorganisasi Tata Usaha dan Pelayanan yang diketuai oleh Guru Besar Politik Universitas Dhaka Muzaffar Ahmed Chowdhury sudah merekomendasikan penghapusan kuota tersebut, tetapi usulannya ditolak oleh pemerintah.
Dampak dan Masa Depan Bangladesh
Pengunduran diri Sheikh Hasina menandai babak baru dalam sejarah politik Bangladesh. Krisis ini menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap sistem pemerintahan yang dianggap tidak adil dan korup. Reformasi sistem kuota dalam perekrutan PNS menjadi salah satu isu utama yang harus segera ditangani untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Militer kini menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas dan membentuk pemerintahan sementara yang dapat diterima oleh semua pihak. Keberhasilan dalam menangani krisis ini akan sangat menentukan masa depan politik Bangladesh.
Bangladesh telah mengalami berbagai gejolak politik dan konflik internal sejak kemerdekaannya. Namun, dengan semangat reformasi yang kuat dari generasi muda, ada harapan bahwa negara ini bisa melewati krisis ini dan bergerak menuju sistem pemerintahan yang lebih adil dan demokratis. Perjuangan untuk meritokrasi dan melawan nepotisme dalam perekrutan PNS adalah langkah penting menuju masa depan yang lebih baik bagi semua warga Bangladesh. *Mukroni
Foto Kompas
- Berita Terkait :
Kekerasan Terus Memanas di Inggris, Starmer Tegaskan Akan Hadapi Ekstremisme Sayap Kanan
Escalating Iran-Israel Tensions: New Phase of Middle Eastern Conflict Looms
Israel Konfirmasi Kematian Komandan Hamas di Tengah Pemakaman Dua Militan Senior
Kehilangan Besar: Pembunuhan Ismail Haniyeh dan Reaksi Warga Palestina
Assassination of Hamas Leader Ismail Haniyeh: A New Hurdle in Middle East Peace Efforts
Adidas Minta Maaf kepada Bella Hadid Setelah Iklan Memicu Kontroversi dengan Pendukung Israel
Protes Besar-besaran di Depan Kongres AS Menyoroti Ketidakpuasan Terhadap Kebijakan AS-Israel
Adidas Dihujani Kritik Usai Menarik Iklan Bella Hadid Karena Desakan Pro-Israel
Yemen Celebrates in the Streets Following Successful Drone Strike on Tel Aviv
UK’s New PM Keir Starmer Calls for Urgent Gaza Ceasefire and Two-State Solution
Netanyahu Announces Israeli Delegation to Cairo for Ceasefire Talks Amid Ongoing Gaza Conflict
Hamas Accuses Israel of Stalling in Gaza Ceasefire Talks, Awaits Mediator Updates
Gaza War Spurs Surge in Terrorist Recruitment, Warns U.S. Intelligence
Heavy Fighting in Gaza Forces Thousands to Flee Again Amid Ongoing Conflict
Gaza Summer: Sewage, Garbage, and Health Risks in War-Torn Tent Camps
Head of Gaza’s Largest Hospital Released by Israel After Seven Months of Detention
Kisah Pegunungan Bani Yas’in: Esau bin Ishaq dan Keberanian Bani Jawa dalam Catatan Ibnu Khaldun
Unimaginable Suffering: A Hull Surgeon’s Mission to Aid Gaza’s War-Torn Civilians
Escalating Tensions: Israel and Hezbollah Edge Closer to Conflict Amid Rocket Fire and Threats
Netanyahu Announces Imminent Conclusion of Gaza Conflict’s Intense Phase
Gaza’s Overlooked Hostages: Thousands Held Without Charge in Israeli Detention
Chilean Art Exhibition Celebrates Palestinian Solidarity
Houthi Rebels Sink Bulk Carrier in Red Sea Escalation Amid Israel-Hamas Conflict
Tragedi Kemanusiaan di Gaza: Serangan Israel Menewaskan Sedikitnya 42 Orang
Kuba Ikut Dalam Gugatan Internasional Afrika Selatan di ICJ Mengenai Tindakan Israel di Gaza
Mengapa Gaza Adalah Zona Perang Terburuk: Perspektif Ahli Bedah Trauma David Nott
Armenia Resmi Akui Palestina sebagai Negara di Tengah Konflik Gaza-Israel
Qatar Lakukan Negosiasi Intensif untuk Gencatan Senjata Israel-Hamas
Day 256: Gaza Under Siege – Israel’s Airstrikes Claim Dozens of Lives
Pengunduran Diri Pejabat AS Stacy Gilbert: Protes terhadap Kebijakan Bantuan Kemanusiaan di Gaza
Idul Adha di Tengah Konflik: Ketika Kegembiraan Berganti Kesedihan di Gaza
Tragedi di Rafah: Delapan Tentara Israel Tewas dalam Pertempuran Terbaru di Jalur Gaza
AS menjatuhkan sanksi pada ‘kelompok ekstremis Israel’ karena memblokir bantuan Gaza
Langkah Israel: ‘Jeda Taktis’ untuk Meringankan Krisis Kemanusiaan di Gaza
Pembicaraan Gencatan Senjata Gaza oleh Qatar dan Mesir: Langkah Baru Menuju Perdamaian
Akhir yang Mendekat bagi Pemerintahan Netanyahu yang Terpecah
Krisis Kemanusiaan di Gaza: Keputusasaan di Tengah Pertempuran
Ketegangan AS-Israel: Perdebatan atas Berbagi Informasi Intelijen
Tekanan Boikot Israel terhadap Merek-merek Amerika di Timur Tengah
$7.000 untuk Keluar dari Gaza: Eksploitasi Warga Palestina yang Melarikan Diri ke Mesir
Krisis Kemanusiaan di Gaza Meningkat, Yordania Gelar Pertemuan Darurat Internasional
Transformasi Ekonomi Global: Dampak Penghentian Perjanjian Petro Dollar oleh Arab Saudi
Rencana Gencatan Senjata Gaza Terhambat oleh Perubahan Usulan dari Hamas, Klaim AS
HRW: Penggunaan Kelaparan oleh Israel sebagai Senjata Perang di Gaza Merupakan ‘Kejahatan Perang’
PBB Temukan Bukti Kejahatan Kemanusiaan oleh Israel di Gaza
Resolusi DK PBB Dukung Gencatan Senjata Gaza: Langkah Menuju Perdamaian yang Tantangannya Besar”
Pertemuan Tegang di Kairo: Morsi Dituduh Mengimplikasikan Yahudi Mengendalikan Media AS
Gideon Levy: Pendudukan Israel Tidak Akan Berakhir Sampai Mereka Membayar Akibatnya
Ribuan Orang Berkumpul di Luar Gedung Putih untuk Memprotes Perang di Gaza
Benny Gantz Mengundurkan Diri dari Kabinet Perang: Pukulan Telak bagi Netanyahu
Kebencian terhadap Netanyahu Meningkat di Tengah Isolasi Internasional Israel
Dewan Menteri D-8 Serukan Gencatan Senjata “Segera, Permanen, Tanpa Syarat” di Gaza
Israel Menyerang Sekolah di Gaza yang Menampung Pengungsi Palestina, Menewaskan Sedikitnya 40 Orang
Bagaimana “Le Monde” Meliput Konflik Israel-Palestina Sejak 1945
Spanyol Ikut Campur dalam Kasus Genosida Afrika Selatan Terhadap Israel di ICJ
Bernie Sanders: Menghormati Netanyahu dengan Pidato Kongres adalah Kesalahan Besar
Gideon Levy Mengkritik Media Israel yang Tidak Memperlihatkan Penderitaan di Gaza
Kontroversi di Parlemen Prancis: Bendera Palestina di Tengah Isu Politik Sensitif
Lapid Kecam Smotrich dan Ben Gvir atas Ancaman Gulingkan Koalisi Terkait Gencatan Senjata Sandera
Macklemore: Melawan Apartheid demi Kemerdekaan Palestina di Tengah Konflik Gaza
Mesir Bergabung dalam Kasus Genosida terhadap Israel di Pengadilan