Jakarta, Kowantaranews.com -Pada tahun 2024, pemilihan presiden Amerika Serikat menjadi momen krusial yang tidak hanya mempengaruhi politik domestik AS, tetapi juga berpotensi mengubah lanskap diplomasi global, khususnya di Asia. Dengan Kamala Harris dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik sebagai dua kandidat utama, Asia menghadapi ketidakpastian yang signifikan mengenai arah kebijakan luar negeri AS. Baik Harris maupun Trump memiliki pendekatan yang sangat berbeda, dan hasil pemilihan ini akan memberikan dampak besar bagi hubungan AS dengan negara-negara di Asia.
Konteks Pemilihan dan Kandidat
Pada 6 Agustus 2024, Kamala Harris, Wakil Presiden yang kini menjadi calon presiden dari Partai Demokrat, mengumumkan Gubernur Minnesota, Tim Walz, sebagai calon wakil presidennya. Langkah ini menggantikan Joe Biden, yang memutuskan untuk menarik diri dari pencalonan setelah penampilan buruk dalam debat televisi dan kekhawatiran mengenai usia dan kesehatan. Sementara itu, Donald Trump, mantan presiden dan kandidat dari Partai Republik, telah memilih Senator JD Vance dari Ohio sebagai calon wakil presidennya, sebuah langkah yang dinilai untuk memperkuat daya tariknya di kalangan pemilih kelas pekerja.
Asia dan Pengaruhnya terhadap Kebijakan AS
Asia adalah wilayah yang sangat penting dalam geopolitik global, dan kebijakan luar negeri AS memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas dan pertumbuhan ekonomi di kawasan ini. Ketegangan yang berkaitan dengan perdagangan dengan China, pertahanan Taiwan, dan ancaman dari Korea Utara adalah beberapa isu utama yang menjadi perhatian.
Kamala Harris diperkirakan akan melanjutkan kebijakan luar negeri yang telah dijalankan oleh pemerintahan Biden, yang cenderung berfokus pada aliansi multilateral dan strategi berbasis diplomasi. Sebagai Wakil Presiden, Harris telah menegaskan komitmennya terhadap hubungan kuat dengan sekutu tradisional AS seperti Jepang, Korea Selatan, dan Filipina. Kunjungannya ke negara-negara Asia Tenggara dan komitmennya terhadap pertahanan Filipina dalam menghadapi ancaman di Laut China Selatan adalah contoh konkret dari kebijakan luar negeri yang mungkin akan dilanjutkannya jika terpilih.
Donald Trump, di sisi lain, dikenal dengan pendekatannya yang lebih unilateralis dan seringkali konfrontatif. Selama masa kepresidenannya, Trump memperkenalkan kebijakan tarif yang agresif terhadap China, memicu ketegangan perdagangan yang berdampak luas. Ia juga mengadopsi sikap keras terhadap sekutu yang dianggap tidak memberikan kontribusi yang memadai dalam aliansi pertahanan. Jika Trump terpilih kembali, kebijakan ini bisa diperkuat, dan hal ini dapat mempengaruhi hubungan AS dengan negara-negara di Asia, khususnya dalam hal perdagangan dan keamanan.
Baca juga : Kamala Harris Gaet Gubernur Minnesota Tim Walz sebagai Calon Wakil Presiden
Baca juga : Sheikh Hasina Kabur ke India: Protes Mahasiswa dan Kuota PNS Memanas di Bangladesh
Baca juga : Kekerasan Terus Memanas di Inggris, Starmer Tegaskan Akan Hadapi Ekstremisme Sayap Kanan
Reaksi dan Persiapan Negara-Negara Asia
- Jepang
Jepang, sebagai salah satu sekutu utama AS di Asia, memiliki kepentingan besar dalam hasil pemilihan ini. Di bawah kepemimpinan PM Fumio Kishida, Jepang telah berusaha memperkuat aliansi dengan AS, termasuk melalui pertemuan dengan Kamala Harris. Namun, ada kekhawatiran bahwa kebijakan luar negeri Harris yang berkelanjutan dari pemerintahan Biden mungkin tidak cukup untuk mengatasi tantangan yang dihadapi Jepang dari China dan Rusia.
Di sisi lain, kebangkitan kembali Trump bisa menghadirkan tantangan baru. Beberapa analis di Jepang khawatir bahwa Trump akan menerapkan kebijakan yang lebih keras terhadap aliansi, yang bisa merugikan Jepang jika hubungan AS-Jepang dianggap tidak cukup menguntungkan. Di masa lalu, Trump menunjukkan ketidakpuasan terhadap kontribusi Jepang dalam aliansi pertahanan, dan hal ini bisa diperburuk jika ia kembali terpilih.
- Korea Selatan
Korea Selatan juga sangat memperhatikan pemilihan ini. Selama masa kepresidenan Trump, ada ketegangan terkait biaya aliansi pertahanan, dan Trump bahkan mengancam untuk menarik pasukan AS dari Korea Selatan jika Seoul tidak meningkatkan kontribusi finansialnya. Sebuah kebijakan serupa mungkin akan diadopsi kembali jika Trump terpilih.
Kamala Harris, di sisi lain, kemungkinan akan melanjutkan pendekatan yang lebih stabil dan kooperatif. Korea Selatan mungkin merasa lebih nyaman dengan Harris yang dikenal mendukung aliansi dan keterlibatan diplomatik.
- Filipina
Filipina adalah salah satu negara yang secara aktif terlibat dalam sengketa Laut China Selatan. Di bawah pemerintahan Biden, Filipina mendapat dukungan signifikan dari AS dalam menghadapi ancaman dari China. Kunjungan Harris ke Filipina dan komitmennya untuk mempertahankan hubungan pertahanan yang kuat memberikan harapan bagi pemerintah Filipina.
Trump, jika terpilih kembali, mungkin akan memprioritaskan kebijakan “Amerika Pertama” yang bisa mengubah dinamika dukungan AS terhadap Filipina. Kebijakan luar negeri Trump yang lebih fokus pada keuntungan langsung bagi AS mungkin tidak memberikan dukungan yang sama seperti yang diberikan di bawah Biden.
- India
India, dengan komunitas India-Amerika yang signifikan, juga memiliki minat khusus terhadap Harris, yang memiliki latar belakang keturunan India. PM Narendra Modi telah menunjukkan sikap positif terhadap administrasi Biden, dan hubungan ini mungkin akan terus berkembang jika Harris terpilih.
Namun, India juga harus siap menghadapi kemungkinan perubahan kebijakan jika Trump kembali terpilih. Beberapa kebijakan Trump yang lebih konfrontatif dan proteksionis dapat mempengaruhi hubungan ekonomi dan strategis antara AS dan India.
Pemilihan presiden AS 2024 tidak hanya menentukan masa depan politik Amerika, tetapi juga akan memiliki dampak besar pada lanskap diplomasi Asia. Kamala Harris, dengan pendekatan berkelanjutan terhadap aliansi dan diplomasi multilateral, menawarkan stabilitas bagi negara-negara Asia yang bergantung pada hubungan baik dengan AS. Sebaliknya, Donald Trump, dengan pendekatan unilateralis dan kebijakan perdagangan yang keras, dapat mengubah dinamika hubungan AS dengan negara-negara di Asia, membawa tantangan baru dan ketidakpastian.
Dengan waktu yang tersisa sebelum pemilihan, negara-negara Asia terus memantau perkembangan politik di AS dengan seksama, mempersiapkan diri untuk berbagai kemungkinan hasil dan implikasinya bagi kebijakan luar negeri mereka. Keputusan pemilih Amerika pada 5 November 2024 akan menjadi titik balik yang menentukan bagaimana hubungan AS dengan Asia akan berkembang di masa depan. *Mukroni
Foto Kowantaranews.com
- Berita Terkait :
Kamala Harris Gaet Gubernur Minnesota Tim Walz sebagai Calon Wakil Presiden
Sheikh Hasina Kabur ke India: Protes Mahasiswa dan Kuota PNS Memanas di Bangladesh
Kekerasan Terus Memanas di Inggris, Starmer Tegaskan Akan Hadapi Ekstremisme Sayap Kanan
Escalating Iran-Israel Tensions: New Phase of Middle Eastern Conflict Looms
Israel Konfirmasi Kematian Komandan Hamas di Tengah Pemakaman Dua Militan Senior
Kehilangan Besar: Pembunuhan Ismail Haniyeh dan Reaksi Warga Palestina
Assassination of Hamas Leader Ismail Haniyeh: A New Hurdle in Middle East Peace Efforts
Adidas Minta Maaf kepada Bella Hadid Setelah Iklan Memicu Kontroversi dengan Pendukung Israel
Protes Besar-besaran di Depan Kongres AS Menyoroti Ketidakpuasan Terhadap Kebijakan AS-Israel
Adidas Dihujani Kritik Usai Menarik Iklan Bella Hadid Karena Desakan Pro-Israel
Yemen Celebrates in the Streets Following Successful Drone Strike on Tel Aviv
UK’s New PM Keir Starmer Calls for Urgent Gaza Ceasefire and Two-State Solution
Netanyahu Announces Israeli Delegation to Cairo for Ceasefire Talks Amid Ongoing Gaza Conflict
Hamas Accuses Israel of Stalling in Gaza Ceasefire Talks, Awaits Mediator Updates
Gaza War Spurs Surge in Terrorist Recruitment, Warns U.S. Intelligence
Heavy Fighting in Gaza Forces Thousands to Flee Again Amid Ongoing Conflict
Gaza Summer: Sewage, Garbage, and Health Risks in War-Torn Tent Camps
Head of Gaza’s Largest Hospital Released by Israel After Seven Months of Detention
Kisah Pegunungan Bani Yas’in: Esau bin Ishaq dan Keberanian Bani Jawa dalam Catatan Ibnu Khaldun
Unimaginable Suffering: A Hull Surgeon’s Mission to Aid Gaza’s War-Torn Civilians
Escalating Tensions: Israel and Hezbollah Edge Closer to Conflict Amid Rocket Fire and Threats
Netanyahu Announces Imminent Conclusion of Gaza Conflict’s Intense Phase
Gaza’s Overlooked Hostages: Thousands Held Without Charge in Israeli Detention
Chilean Art Exhibition Celebrates Palestinian Solidarity
Houthi Rebels Sink Bulk Carrier in Red Sea Escalation Amid Israel-Hamas Conflict
Tragedi Kemanusiaan di Gaza: Serangan Israel Menewaskan Sedikitnya 42 Orang
Kuba Ikut Dalam Gugatan Internasional Afrika Selatan di ICJ Mengenai Tindakan Israel di Gaza
Mengapa Gaza Adalah Zona Perang Terburuk: Perspektif Ahli Bedah Trauma David Nott
Armenia Resmi Akui Palestina sebagai Negara di Tengah Konflik Gaza-Israel
Qatar Lakukan Negosiasi Intensif untuk Gencatan Senjata Israel-Hamas
Day 256: Gaza Under Siege – Israel’s Airstrikes Claim Dozens of Lives
Pengunduran Diri Pejabat AS Stacy Gilbert: Protes terhadap Kebijakan Bantuan Kemanusiaan di Gaza
Idul Adha di Tengah Konflik: Ketika Kegembiraan Berganti Kesedihan di Gaza
Tragedi di Rafah: Delapan Tentara Israel Tewas dalam Pertempuran Terbaru di Jalur Gaza
AS menjatuhkan sanksi pada ‘kelompok ekstremis Israel’ karena memblokir bantuan Gaza
Langkah Israel: ‘Jeda Taktis’ untuk Meringankan Krisis Kemanusiaan di Gaza
Pembicaraan Gencatan Senjata Gaza oleh Qatar dan Mesir: Langkah Baru Menuju Perdamaian
Akhir yang Mendekat bagi Pemerintahan Netanyahu yang Terpecah
Krisis Kemanusiaan di Gaza: Keputusasaan di Tengah Pertempuran
Ketegangan AS-Israel: Perdebatan atas Berbagi Informasi Intelijen
Tekanan Boikot Israel terhadap Merek-merek Amerika di Timur Tengah
$7.000 untuk Keluar dari Gaza: Eksploitasi Warga Palestina yang Melarikan Diri ke Mesir
Krisis Kemanusiaan di Gaza Meningkat, Yordania Gelar Pertemuan Darurat Internasional
Transformasi Ekonomi Global: Dampak Penghentian Perjanjian Petro Dollar oleh Arab Saudi
Rencana Gencatan Senjata Gaza Terhambat oleh Perubahan Usulan dari Hamas, Klaim AS
HRW: Penggunaan Kelaparan oleh Israel sebagai Senjata Perang di Gaza Merupakan ‘Kejahatan Perang’
PBB Temukan Bukti Kejahatan Kemanusiaan oleh Israel di Gaza
Resolusi DK PBB Dukung Gencatan Senjata Gaza: Langkah Menuju Perdamaian yang Tantangannya Besar”
Pertemuan Tegang di Kairo: Morsi Dituduh Mengimplikasikan Yahudi Mengendalikan Media AS
Gideon Levy: Pendudukan Israel Tidak Akan Berakhir Sampai Mereka Membayar Akibatnya
Ribuan Orang Berkumpul di Luar Gedung Putih untuk Memprotes Perang di Gaza
Benny Gantz Mengundurkan Diri dari Kabinet Perang: Pukulan Telak bagi Netanyahu
Kebencian terhadap Netanyahu Meningkat di Tengah Isolasi Internasional Israel
Dewan Menteri D-8 Serukan Gencatan Senjata “Segera, Permanen, Tanpa Syarat” di Gaza
Israel Menyerang Sekolah di Gaza yang Menampung Pengungsi Palestina, Menewaskan Sedikitnya 40 Orang
Bagaimana “Le Monde” Meliput Konflik Israel-Palestina Sejak 1945
Spanyol Ikut Campur dalam Kasus Genosida Afrika Selatan Terhadap Israel di ICJ
Bernie Sanders: Menghormati Netanyahu dengan Pidato Kongres adalah Kesalahan Besar
Gideon Levy Mengkritik Media Israel yang Tidak Memperlihatkan Penderitaan di Gaza
Kontroversi di Parlemen Prancis: Bendera Palestina di Tengah Isu Politik Sensitif
Lapid Kecam Smotrich dan Ben Gvir atas Ancaman Gulingkan Koalisi Terkait Gencatan Senjata Sandera
Macklemore: Melawan Apartheid demi Kemerdekaan Palestina di Tengah Konflik Gaza
Mesir Bergabung dalam Kasus Genosida terhadap Israel di Pengadilan