Jakarta, Kowantaranews.com -Perang yang berkepanjangan antara Israel dan Palestina di Jalur Gaza telah lama menjadi sorotan dunia, dengan kedua belah pihak mengalami penderitaan yang luar biasa. Namun, baru-baru ini, perhatian internasional semakin tertuju pada taktik kejam yang digunakan oleh pasukan militer Israel. Dalam sebuah laporan investigatif oleh The New York Times, terungkap bahwa Israel sering menggunakan warga sipil Palestina sebagai tameng hidup dalam operasi militer mereka, sebuah praktik yang dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional dan kemanusiaan.
Taktik Tameng Hidup dalam Perang
Laporan ini mengungkapkan bahwa selama operasi militer di Gaza, khususnya saat menelusuri jaringan terowongan Hamas, pasukan Israel kerap memaksa warga sipil Palestina yang ditangkap untuk berjalan di depan mereka. Warga sipil ini, yang tak jarang terdiri dari pria, wanita, bahkan anak-anak, dijadikan alat untuk mendeteksi jebakan bahan peledak (booby trap) yang mungkin dipasang oleh Hamas. Tindakan ini menempatkan mereka dalam bahaya besar, sementara tentara Israel yang berada di belakang mereka terlindung dari kemungkinan ancaman.
Praktik ini bukan hanya dilarang oleh hukum internasional, tetapi juga bertentangan dengan hukum Israel itu sendiri. Mahkamah Agung Israel telah melarang penggunaan warga sipil sebagai tameng hidup sejak 2005. Meskipun demikian, laporan menunjukkan bahwa taktik ini terus digunakan oleh militer Israel selama operasi militer mereka, terutama di wilayah-wilayah padat penduduk seperti Jalur Gaza.
Salah satu korban dari praktik ini adalah Mohammed Shubeir, seorang siswa SMA dari kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan. Pada Maret 2024, Shubeir sedang bersembunyi bersama keluarganya ketika dia ditangkap oleh tentara Israel dan dipaksa berjalan di depan pasukan tersebut. Ia dipaksa untuk memasuki reruntuhan bangunan, membuka jalan bagi tentara Israel yang sedang mencari jebakan bahan peledak. Shubeir menggambarkan pengalamannya sebagai saat di mana ia merasa bahwa hidupnya mungkin berakhir kapan saja. “Saya merasa seperti anjing pelacak yang disuruh masuk ke gedung penuh bahan peledak,” katanya. “Itu hari di mana saya pikir hidup saya akan berakhir.”
Baca juga : Israel Serang Prajurit TNI di Lebanon: Arogansi di Atas Hukum, Dunia Terguncang!
Baca juga : Mahkamah Pidana Internasional Desak Penggunaan Istilah “Negara Palestina” oleh Institusi Global
Baca juga : Pertemuan Sejarah di Kairo: Fatah dan Hamas Bersatu Demi Masa Depan Gaza yang Tak Tergoyahkan
Penggunaan Warga Sipil sebagai “Panah”
Dalam terminologi militer Israel, warga sipil yang dijadikan tameng hidup sering disebut sebagai “panah”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan orang yang dipaksa bergerak di depan pasukan agar risiko kematian di pihak militer Israel dapat diminimalkan. Para prajurit yang diwawancarai oleh The New York Times mengakui bahwa penggunaan “panah” ini dilakukan dengan sepengetahuan atasan mereka, dan sering kali melibatkan unit-unit intelijen militer yang bertugas di wilayah pertempuran.
Praktik ini telah menjadi bagian dari strategi militer Israel dalam menghadapi kelompok perlawanan Palestina, seperti Hamas, yang terkenal karena menggunakan taktik perang gerilya di daerah perkotaan yang padat. Jaringan terowongan Hamas, yang digunakan untuk menyelundupkan persenjataan dan pejuang, menjadi sasaran utama operasi militer Israel. Namun, risiko yang ditimbulkan oleh jebakan peledak yang dipasang di sepanjang rute terowongan membuat pasukan Israel memilih untuk menggunakan warga sipil sebagai pelindung.
The New York Times melaporkan bahwa setidaknya 11 unit militer Israel terlibat dalam operasi seperti ini di lima kota di Jalur Gaza. Sejauh ini, tidak diketahui secara pasti berapa banyak warga sipil yang telah dipaksa menjadi tameng hidup oleh militer Israel. Namun, fakta bahwa praktik ini terus terjadi, meski ada larangan dari Mahkamah Agung Israel, menunjukkan bahwa kebijakan ini sudah menjadi bagian dari strategi militer yang lebih luas.
Kisah-kisah Korban Tameng Hidup
Selain Mohammed Shubeir, beberapa warga Palestina lainnya juga berbagi kisah kelam mereka. Jehad Siam, seorang perancang grafis berusia 31 tahun, menceritakan bagaimana dirinya dipaksa oleh tentara Israel untuk berjalan di depan mereka bersama sekelompok pengungsi Palestina lainnya. Mereka digunakan sebagai tameng saat pasukan Israel bergerak di kota Gaza. “Mereka memaksa kami berjalan di depan mereka, sehingga mereka tidak ditembak oleh Hamas,” kenang Siam. Setelah operasi selesai, para pengungsi ini dilepaskan tanpa bekal atau kompensasi.
Kisah serupa datang dari Basheer al-Dalou, seorang ahli farmasi berusia 43 tahun dari kota Gaza. Pada 13 November 2023, Dalou ditangkap oleh tentara Israel saat dia kembali ke rumahnya yang hancur untuk mencari barang-barang yang tersisa. Setelah ditangkap, dia dipaksa untuk berjalan di depan tiga tentara bersenjata, memasuki sebuah gedung lima lantai yang diduga memiliki terowongan Hamas di bawahnya. Tentara Israel takut bahwa gedung itu mungkin penuh dengan jebakan, jadi mereka memaksa Dalou untuk membuka jalan bagi mereka. Dalou menggambarkan rasa takut yang mencekam saat dia berjalan ke gedung tersebut, menyadari bahwa setiap langkah bisa menjadi yang terakhir baginya.
Konfirmasi dari Intelijen Israel
Mayor Jenderal Tamir Hayman, mantan Direktur Intelijen Militer Israel, mengakui dalam sebuah wawancara dengan The New York Times bahwa penggunaan warga sipil sebagai tameng hidup memang terjadi dalam operasi militer Israel. Menurut Hayman, para tawanan Palestina sering kali dipaksa untuk memasuki terowongan Hamas, terkadang dengan iming-iming keuntungan tertentu dari militer Israel. Namun, dia menegaskan bahwa tidak semua warga sipil dipaksa; beberapa di antaranya diduga menawarkan diri secara sukarela.
Namun, klaim “sukarela” ini banyak dipertanyakan oleh para ahli hukum dan kelompok HAM. Lawrence Hilla-Cawthorne, seorang Guru Besar Hukum Perang di Universitas Bristol, Inggris, menyatakan bahwa situasi di mana warga sipil dipaksa berjalan di depan prajurit bersenjata bukanlah tindakan sukarela. “Tidak ada yang bisa dianggap sebagai sukarela ketika ada ketidakseimbangan kekuatan sebesar ini,” katanya.
Reaksi Internasional dan Pelanggaran Hukum
Penggunaan warga sipil sebagai tameng hidup oleh militer Israel telah menuai kecaman luas dari komunitas internasional. Hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa, dengan tegas melarang penggunaan warga sipil dalam operasi militer. Warga sipil tidak boleh ditempatkan di posisi yang berbahaya, apalagi dipaksa untuk melakukan tindakan yang membahayakan nyawa mereka.
Selain itu, hukum Israel sendiri melarang tindakan tersebut. Pada 2005, Mahkamah Agung Israel memutuskan bahwa penggunaan warga sipil sebagai tameng hidup dalam operasi militer tidak dapat diterima dalam kondisi apapun. Meskipun demikian, laporan investigatif menunjukkan bahwa praktik ini tetap dilakukan dengan sistematis, terutama dalam konflik terbaru antara Israel dan Hamas yang dimulai pada Oktober 2023.
Para pengamat internasional menyatakan bahwa praktik semacam ini adalah bentuk kejahatan perang. Sejarawan militer Michael N. Schmitt dari Akademi Militer West Point, Amerika Serikat, mengatakan bahwa penggunaan tameng hidup merupakan salah satu bentuk kejahatan perang yang paling jelas. “Ini adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dalam situasi apa pun, apalagi dalam konteks perang yang melibatkan warga sipil yang tidak bersalah,” kata Schmitt.
Dampak bagi Palestina
Selain ancaman fisik langsung, warga Palestina yang dijadikan tameng hidup juga mengalami trauma psikologis yang mendalam. Mereka tidak hanya kehilangan rasa aman, tetapi juga dipaksa untuk menanggung beban psikologis akibat dihadapkan pada ancaman kematian yang nyata. Trauma ini diperburuk oleh kenyataan bahwa mereka sering kali dipaksa untuk terlibat dalam konflik yang tidak mereka pilih, menjadi alat dalam permainan politik dan militer yang lebih besar.
Seiring berlanjutnya perang di Jalur Gaza, penggunaan warga sipil sebagai tameng hidup oleh militer Israel menambah lapisan penderitaan bagi warga Palestina yang telah lama terperangkap dalam konflik yang tampaknya tidak ada akhirnya. Konflik ini, yang berakar pada pengusiran besar-besaran warga Palestina pada tahun 1948 (Nakba), terus menciptakan lingkaran kekerasan yang semakin sulit dihentikan.
Penggunaan warga sipil Palestina sebagai tameng hidup oleh militer Israel adalah contoh nyata dari kebrutalan yang terjadi dalam perang antara Israel dan Palestina. Meskipun dilarang oleh hukum internasional dan Israel, praktik ini terus dilakukan, menciptakan penderitaan tambahan bagi warga sipil yang sudah terjebak dalam kekerasan yang berkepanjangan.
Dengan semakin meningkatnya tekanan internasional dan sorotan terhadap kejahatan perang ini, komunitas global memiliki tanggung jawab untuk menuntut akuntabilitas dan mendorong penghentian praktik-praktik semacam itu. Sebab, di tengah kengerian perang, warga sipil tidak boleh menjadi korban tambahan dari kebrutalan militer. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Israel Serang Prajurit TNI di Lebanon: Arogansi di Atas Hukum, Dunia Terguncang!
Mahkamah Pidana Internasional Desak Penggunaan Istilah “Negara Palestina” oleh Institusi Global
Pertemuan Sejarah di Kairo: Fatah dan Hamas Bersatu Demi Masa Depan Gaza yang Tak Tergoyahkan
Kebiadaban Israel: Serangan Brutal Gaza Tewaskan 42.000 Warga Sipil Tak Berdosa
Khamenei: Serangan ke Israel Sah, Musuh Muslim Harus Bersatu Melawan Agresi
Kekejaman Israel: Serangan yang Memporak-porandakan Lebanon
Konspirasi Gelap Israel: Mossad Hancurkan Hezbollah dan Guncang Iran dari Dalam
Serangan Israel Tewaskan Nasrallah: Menabur Angin, Menuai Badai di Lebanon!
Politik Perang Netanyahu: Kekuasaan di Atas Penderitaan Rakyat!
Netanyahu Bicara Damai di PBB Sambil Kirim Bom ke Lebanon: Ironi di Tengah Perang
Semua Salah Kecuali Israel: Netanyahu Pidato di Depan Kursi Kosong PBB
Sidang Umum PBB 2024: Dunia di Ambang Kehancuran, Guterres Serukan Aksi Global!
Semangat Bandung Bangkit! Seruan Global untuk Akhiri Penindasan Palestina
Pembantaian di Lebanon: 274 Tewas dalam Serangan Israel yang Mengguncang Dunia
Pembelaan Buta Barat: Ribuan Serangan Israel Dibalas dengan Kebisuan Internasional
Serbuan Brutal Israel: Al Jazeera Dibungkam, Kebebasan Pers Terancam!
IDF Lempar Mayat Seperti Sampah: Kekejaman di Atas Atap Tepi Barat
Serangan Bom Pager Israel terhadap Hizbullah: Taktik, Dampak, dan Konteks Geopolitik
Israel Diminta ‘Pindah Kos’ dalam 12 Bulan, Dunia Menunggu Kunci Dikembalikan
Kisah Fiksi Terbaru dari Jewish Chronicle: Propaganda Hasbara Israel yang Tak Kunjung Usai
Jerman Hambat Ekspor Senjata ke Israel di Tengah Kekhawatiran Pelanggaran HAM di Gaza
“Genocide Joe” dan Klub Pecinta Perang: Drama Zionisme di Panggung Gaza 2024
Noa Argamani Klarifikasi: ‘Saya Tidak Pernah Dipukuli Hamas Selama Penahanan di Gaza’
Kamala Harris Kehilangan Dukungan Penting di Konvensi Demokrat Karena Isu Palestina
Konvensi Nasional Partai Demokrat 2024: Penetapan Kandidat, Pesan Kebebasan, dan Insiden Tak Terduga
Elon Musk Dipertimbangkan Masuk Kabinet Trump: Menguak Dinamika Politik dan Bisnis di AS
Pidato yang Tidak Pernah Ingin Disampaikan oleh Biden
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat