Jakarta, Kowantaranews.com -Dengan semakin mendekatnya tahun-tahun penuh krisis yang diprediksi para ilmuwan, Konferensi Perubahan Iklim COP ke-29 di Baku, Azerbaijan, diselimuti oleh awan ketidakpastian yang semakin gelap. Pemilihan ulang Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada November 2024—setelah pertarungan sengit melawan Kamala Harris—membawa kekhawatiran besar bagi komunitas internasional yang peduli pada upaya penanggulangan perubahan iklim. Kembalinya Trump ke kursi kepresidenan dikhawatirkan tidak hanya menghambat komitmen AS terhadap isu perubahan iklim, tetapi juga berpotensi menarik AS dari berbagai perjanjian lingkungan yang telah dijalin sebelumnya. Langkah ini bisa mengakibatkan dampak signifikan terhadap pendanaan dan kolaborasi global, memperparah upaya penyelamatan planet yang tengah berada di ujung tanduk.
Suhu Memecahkan Rekor di Tengah Kekacauan Politik
Tahun 2024 mencatat rekor baru dalam catatan suhu global. Selama sepuluh bulan pertama, laporan Layanan Perubahan Iklim Copernicus (C3S) menyebutkan bahwa suhu rata-rata global sudah mencapai 1,55 derajat Celsius lebih tinggi dari masa pra-industri. Ini merupakan titik kritis yang pertama kali dilampaui sejak dimulainya komitmen Persetujuan Paris untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius. Mengingat proyeksi suhu global yang semakin meningkat, para ilmuwan memperingatkan bahwa bumi kita menuju kondisi darurat iklim yang lebih mengancam.
Selain itu, pertemuan COP-29 ini juga akan membahas tingkat gas rumah kaca yang mencapai rekor tertinggi pada akhir Oktober 2024, menurut Buletin Gas Rumah Kaca tahunan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). Ketika penyerapan karbon oleh hutan menurun akibat kebakaran hutan yang meluas, suhu ekstrem diperkirakan akan semakin sering terjadi di masa depan. Bahkan, jika tidak ada upaya global yang lebih serius untuk mengurangi emisi, dunia diperkirakan akan mengalami pemanasan lebih dari 2,7 derajat Celsius pada akhir abad ini.
Kemenangan Trump: Awal Baru bagi Krisis Iklim Global?
Masyarakat sipil di seluruh dunia, termasuk dari Indonesia, mengkhawatirkan dampak dari kembalinya Trump ke Gedung Putih. Pengalaman periode pertama Trump yang sempat mengeluarkan AS dari Persetujuan Paris menjadi salah satu alasan utama kekhawatiran tersebut. Trump juga secara terbuka meragukan keberadaan perubahan iklim, menggambarkannya sebagai “hoaks” dan sering menyebut tindakan iklim sebagai “penyebab penghambat ekonomi.” Sekarang, dalam pernyataannya setelah menang pemilihan, Trump kembali menyatakan keinginannya untuk menarik AS dari Persetujuan Paris, serta kemungkinan melepaskan AS dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), yang selama ini menjadi landasan kebijakan iklim global.
Dampak keputusan ini bisa sangat besar. Amerika Serikat adalah salah satu negara penghasil emisi terbesar, dan tanpa komitmen dari negara adidaya ini, upaya global untuk menahan laju perubahan iklim akan semakin sulit. Selain itu, Amerika Serikat telah menjadi salah satu penyedia dana terbesar bagi negara-negara berkembang yang membutuhkan bantuan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Jika AS benar-benar menarik dukungan finansialnya, krisis pendanaan iklim akan semakin parah, terutama bagi negara-negara yang paling rentan dan membutuhkan dukungan untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Baca juga : Prabowo dan Trump: Era Baru Aliansi Superpower Asia-Pasifik untuk Menguasai Rantai Pasok Dunia
Baca juga : Gelombang Merah di Amerika: Kemenangan Besar Partai Republik dan Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih
Baca juga : Pemilu AS 2024: Lautan Manusia Berjubel di TPS, Antusiasme Warga Seperti Tak Terbendung!
Aliansi Indonesia dan BRICS: Mencari Alternatif Pendanaan Iklim
Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, mempertimbangkan opsi yang tidak lagi mengandalkan sepenuhnya pada negara-negara Barat, terutama setelah hasil pemilihan di AS. Indonesia telah menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan BRICS—aliansi ekonomi negara-negara berkembang yang mencakup Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Dalam konteks perubahan iklim, negara-negara BRICS mulai mempertimbangkan pembentukan sistem keuangan global yang lebih mandiri dari dominasi Barat, sehingga mereka dapat menggalang dana yang lebih besar untuk tujuan iklim.
Bagi Indonesia, dukungan dari aliansi BRICS bisa menjadi alternatif penting, terutama jika AS benar-benar menarik diri dari berbagai skema pendanaan iklim internasional. Selain itu, BRICS bisa menjadi jaringan yang penting bagi Indonesia untuk membangun strategi iklim yang tidak hanya mengandalkan dana dari negara-negara Barat, tetapi juga mempertimbangkan manfaat ekonomi dari kerja sama dengan negara-negara berkembang lainnya.
Direktur Perubahan Iklim Kemitraan, Eka Melisa, mengatakan bahwa Indonesia perlu memanfaatkan jaringan ekonomi dengan negara-negara BRICS untuk memenuhi kebutuhan pendanaan iklim. Dengan kebutuhan pendanaan yang kian membengkak, Indonesia mungkin dapat memperoleh dukungan dalam membiayai program-program yang penting, mulai dari mitigasi hingga adaptasi dan penanganan kerugian akibat kerusakan lingkungan.
Tantangan Pendanaan Iklim yang Meningkat Drastis
Dalam diskusi di Jakarta, Tory Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, menyampaikan bahwa perubahan iklim dunia membutuhkan pendanaan yang sangat besar. Berdasarkan perhitungan Standing Committee, pendanaan iklim global harus mencapai sekitar 8 triliun dolar AS per tahun hingga tahun 2030. Ini merupakan peningkatan signifikan dari target 100 miliar dolar AS per tahun yang sebelumnya disepakati dalam COP15 di Kopenhagen pada 2009. Angka yang semakin besar ini mencakup berbagai kebutuhan, seperti mitigasi, adaptasi, serta penanganan dampak kehilangan dan kerusakan yang diakibatkan oleh pemanasan global.
Sementara itu, program berbasis alam, seperti solusi berbasis alam (nature-based solutions), juga membutuhkan perhatian besar. Data dari Program Lingkungan PBB (UNEP) menunjukkan bahwa investasi untuk proyek berbasis alam hanya sekitar 200 juta dolar AS, jauh tertinggal dibandingkan dengan investasi senilai 7 triliun dolar AS dalam proyek-proyek yang justru merusak lingkungan. Tory Kuswardono menekankan bahwa setiap negara perlu lebih berhati-hati dalam menerima investasi yang merusak alam demi mencegah peningkatan krisis iklim yang lebih parah.
Masa Depan Kontribusi Emisi: Harapan atau Krisis?
COP-29 ini diharapkan akan menghasilkan komitmen yang lebih besar dari negara-negara untuk memperbaharui kontribusi penurunan emisi (Nationally Determined Contributions/NDC) masing-masing. Berdasarkan kalkulasi terbaru, target Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celsius sepertinya tidak akan tercapai tanpa langkah yang lebih agresif. Oleh karena itu, negara-negara diminta untuk meningkatkan ambisi iklim mereka, bahkan dengan resiko besar pada ekonomi nasional.
Di Indonesia, revisi dokumen NDC kedua sedang dalam proses untuk memenuhi tenggat akhir 2024. NDC ini menetapkan komitmen pengurangan emisi sebesar 915 juta ton setara CO₂ atau 31,89 persen dari total proyeksi emisi karbon pada tahun 2030. Jika mendapat dukungan internasional, komitmen ini bisa mencapai 1.240 juta ton atau 43,2 persen dari total emisi yang diproyeksikan. Namun, tantangan terbesar dalam mencapai target ini adalah menemukan dukungan finansial dan teknologi dari negara-negara maju.
Masyarakat Rentan: Fokus atau Sekadar Wacana?
Isu penting lainnya dalam dokumen NDC Indonesia adalah pendefinisian “masyarakat rentan.” Sebanyak 64 organisasi telah menyuarakan pentingnya pengakuan yang jelas terhadap kelompok-kelompok yang paling terdampak oleh perubahan iklim, termasuk masyarakat adat, perempuan, anak-anak, petani, nelayan, dan kelompok disabilitas. Menurut Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, menyebutkan bahwa masyarakat rentan harus didefinisikan secara tegas dalam NDC agar kebijakan yang dihasilkan berdampak langsung pada kelompok tersebut.
Menuju Masa Depan: COP-29 di Tengah Tantangan Besar
Pertemuan COP-29 ini akan menjadi titik penentu dalam melihat seberapa jauh komunitas internasional benar-benar berkomitmen untuk menyelamatkan planet ini. Dampak kebijakan AS di bawah kepemimpinan Trump mungkin akan mengubah arah kebijakan iklim global. Langkah AS yang kontroversial akan menguji kekuatan aliansi negara-negara dalam memperjuangkan kebijakan yang berfokus pada iklim.
Di tengah ketidakpastian ini, COP-29 tetap menjadi kesempatan bagi negara-negara untuk berkolaborasi dalam menahan laju pemanasan global. Krisis iklim kini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga masalah hak asasi manusia, kesetaraan ekonomi, dan keberlanjutan umat manusia. Di tengah berbagai kekhawatiran dan tantangan, dunia hanya dapat berharap bahwa COP-29 dapat menghasilkan komitmen konkret yang akan menyelamatkan masa depan generasi mendatang dari krisis iklim yang kian memburuk. *Mukroni
Foto Kompas
- Berita Terkait :
Prabowo dan Trump: Era Baru Aliansi Superpower Asia-Pasifik untuk Menguasai Rantai Pasok Dunia
Pemilu AS 2024: Lautan Manusia Berjubel di TPS, Antusiasme Warga Seperti Tak Terbendung!
Trump dan Harris Bertarung Sengit: Gender Jadi Medan Perang di Pilpres AS!
Kamala Harris Siap Mengakhiri ‘Era Kekacauan’ Trump di Lapangan Bersejarah
Brutalitas Perang: Israel Gunakan Warga Sipil Palestina sebagai Tameng Hidup
Israel Serang Prajurit TNI di Lebanon: Arogansi di Atas Hukum, Dunia Terguncang!
Mahkamah Pidana Internasional Desak Penggunaan Istilah “Negara Palestina” oleh Institusi Global
Pertemuan Sejarah di Kairo: Fatah dan Hamas Bersatu Demi Masa Depan Gaza yang Tak Tergoyahkan
Kebiadaban Israel: Serangan Brutal Gaza Tewaskan 42.000 Warga Sipil Tak Berdosa
Khamenei: Serangan ke Israel Sah, Musuh Muslim Harus Bersatu Melawan Agresi
Kekejaman Israel: Serangan yang Memporak-porandakan Lebanon
Konspirasi Gelap Israel: Mossad Hancurkan Hezbollah dan Guncang Iran dari Dalam
Serangan Israel Tewaskan Nasrallah: Menabur Angin, Menuai Badai di Lebanon!
Politik Perang Netanyahu: Kekuasaan di Atas Penderitaan Rakyat!
Netanyahu Bicara Damai di PBB Sambil Kirim Bom ke Lebanon: Ironi di Tengah Perang
Semua Salah Kecuali Israel: Netanyahu Pidato di Depan Kursi Kosong PBB
Sidang Umum PBB 2024: Dunia di Ambang Kehancuran, Guterres Serukan Aksi Global!
Semangat Bandung Bangkit! Seruan Global untuk Akhiri Penindasan Palestina
Pembantaian di Lebanon: 274 Tewas dalam Serangan Israel yang Mengguncang Dunia
Pembelaan Buta Barat: Ribuan Serangan Israel Dibalas dengan Kebisuan Internasional
Serbuan Brutal Israel: Al Jazeera Dibungkam, Kebebasan Pers Terancam!
IDF Lempar Mayat Seperti Sampah: Kekejaman di Atas Atap Tepi Barat
Serangan Bom Pager Israel terhadap Hizbullah: Taktik, Dampak, dan Konteks Geopolitik
Israel Diminta ‘Pindah Kos’ dalam 12 Bulan, Dunia Menunggu Kunci Dikembalikan
Kisah Fiksi Terbaru dari Jewish Chronicle: Propaganda Hasbara Israel yang Tak Kunjung Usai
Jerman Hambat Ekspor Senjata ke Israel di Tengah Kekhawatiran Pelanggaran HAM di Gaza
“Genocide Joe” dan Klub Pecinta Perang: Drama Zionisme di Panggung Gaza 2024
Noa Argamani Klarifikasi: ‘Saya Tidak Pernah Dipukuli Hamas Selama Penahanan di Gaza’
Kamala Harris Kehilangan Dukungan Penting di Konvensi Demokrat Karena Isu Palestina
Konvensi Nasional Partai Demokrat 2024: Penetapan Kandidat, Pesan Kebebasan, dan Insiden Tak Terduga
Elon Musk Dipertimbangkan Masuk Kabinet Trump: Menguak Dinamika Politik dan Bisnis di AS
Pidato yang Tidak Pernah Ingin Disampaikan oleh Biden
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat