Jakarta, Kowantaranews.com -Perairan Natuna dan sekitar Kepulauan Riau kembali menjadi panggung perseteruan yang memilukan, terutama bagi para nelayan Indonesia. Sepanjang tahun 2024, sudah 31 nelayan Indonesia, terutama dari Kepulauan Riau, ditangkap aparat Malaysia saat menangkap ikan di wilayah perbatasan yang masih menjadi zona abu-abu. Insiden terakhir terjadi Sabtu malam lalu ketika tiga nelayan asal Natuna ditahan oleh Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM). Di tengah luasnya laut dan beratnya kehidupan nelayan, masalah ini menunjukkan kelemahan diplomasi maritim Indonesia dalam melindungi warganya.
Masalah ini tidak berdiri sendiri. Insiden-insiden penangkapan ini berulang setiap tahun, dan para nelayan terjebak dalam situasi yang memprihatinkan. Kebijakan diplomatik yang ada hingga kini ternyata belum cukup tangguh dalam memberikan perlindungan bagi mereka yang mencari nafkah di lautan. Hal ini menjadi dilema serius bagi pemerintah Indonesia dan menuntut tindakan tegas agar insiden serupa tidak lagi berulang.
Zona Abu-abu di Laut Perbatasan
Perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di perairan Natuna dan Sarawak memiliki banyak titik yang belum sepenuhnya terdefinisi. Ada klaim tumpang tindih atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di wilayah tersebut. Para nelayan yang beroperasi di perairan ini sering kali terjebak di zona abu-abu, wilayah yang tidak jelas batasnya, sehingga rentan ditangkap ketika melaut.
Menurut Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri, ketiga nelayan yang ditahan, yaitu Adiyurdani, Dedi, dan Zulkafli, hanya menggunakan alat tangkap tradisional, pancing rawai, dan pancing ulur. Hendri mengungkapkan, “Mereka bukan penjahat atau penyelundup, hanya mencari ikan untuk menghidupi keluarga.” Namun, nelayan ini justru diperlakukan seperti pelaku kejahatan lintas batas, menambah ketidakadilan yang mereka rasakan.
MOU yang Tak Dihormati
Pada tahun 2012, Indonesia dan Malaysia telah menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) yang mengatur bahwa nelayan yang memasuki wilayah perbatasan tanpa sengaja tidak akan langsung ditangkap. Berdasarkan MOU tersebut, APMM dan Badan Keamanan Laut RI (Bakamla) hanya boleh mengusir nelayan yang melanggar batas, bukan menangkapnya, kecuali ada pelanggaran berat seperti penyelundupan narkoba atau perdagangan manusia. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa ketentuan ini seringkali diabaikan.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMRH), Abdul Halim, menyebutkan bahwa penangkapan nelayan ini merupakan bentuk pelanggaran diplomatik yang tidak bisa dibiarkan. Menurutnya, pemerintah Indonesia seharusnya memanggil Duta Besar Malaysia untuk memberikan penjelasan mengenai hal ini. “MOU ini dibuat untuk memberikan rasa aman kepada para nelayan yang sering beroperasi di perairan perbatasan. Kalau tidak dipatuhi, apa gunanya?” ungkap Halim.
Sanksi dan Denda yang Memberatkan
Jika tertangkap, nasib para nelayan Indonesia sungguh memilukan. Mereka biasanya menghadapi denda yang sangat besar. Menurut Hendri, nakhoda kapal dikenai denda sekitar Rp3 miliar, sementara anak buah kapal (ABK) masing-masing dikenai denda sekitar Rp1 miliar. Bagi para nelayan tradisional, jumlah ini sangat tidak masuk akal dan jelas tidak mungkin mereka bayar. Jika denda tidak dapat dibayar, mereka harus menerima tambahan hukuman kurungan.
Selain denda, para nelayan biasanya dipenjara selama beberapa bulan sebelum diperbolehkan pulang. Mereka terjebak dalam keadaan tak berdaya, jauh dari keluarga dan lingkungan tempat tinggal mereka, hanya karena berusaha memenuhi kebutuhan hidup. Keadaan ini menciptakan trauma, terutama bagi mereka yang sudah pernah ditahan. Banyak dari mereka yang enggan kembali melaut meski itu adalah satu-satunya cara mereka mencari nafkah.
Baca juga : Era Keemasan Baru! Indonesia-China Menyatukan Kekuatan Global di Bawah Kepemimpinan Prabowo dan Xi Jinping
Baca juga : Planet di Ujung Tanduk: Krisis Iklim Memuncak di Tengah Naiknya Trump ke Kursi Presiden!
Baca juga : Prabowo dan Trump: Era Baru Aliansi Superpower Asia-Pasifik untuk Menguasai Rantai Pasok Dunia
Diplomasi Maritim yang Lemah
Dalam banyak kasus, pemerintah Indonesia hanya memberikan bantuan hukum kepada para nelayan yang ditangkap. Konsulat Jenderal RI di Kuching, misalnya, sedang berkoordinasi dengan APMM untuk menyelesaikan kasus tiga nelayan yang baru-baru ini ditahan. Namun, bantuan hukum hanyalah solusi jangka pendek. Masalah utama ada pada lemahnya diplomasi maritim yang tidak mampu melindungi dan membebaskan nelayan dari ancaman ini.
Pemerintah Indonesia, terutama dalam era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, diharapkan mampu mengambil langkah lebih tegas untuk menyelesaikan masalah perbatasan ini. Dengan ketegasan, diplomasi yang solid, dan negosiasi yang lebih kuat, diharapkan nelayan Indonesia tidak lagi menjadi korban dari sengketa yang berlarut-larut di wilayah perbatasan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Pakar maritim menyarankan beberapa langkah yang perlu dilakukan pemerintah untuk memperkuat diplomasi maritim dan melindungi nelayan Indonesia:
- Peningkatan Keamanan Perbatasan
Menguatkan patroli laut di wilayah-wilayah perbatasan dapat mencegah insiden penangkapan. Keberadaan kapal patroli Indonesia di sekitar perbatasan dapat menekan aksi sepihak dari aparat negara tetangga. - Penguatan Kerja Sama Diplomatik
Menggandeng Malaysia untuk meninjau ulang MOU 2012 serta memperbarui perjanjian yang menguntungkan kedua negara. Dengan komitmen yang lebih kuat dari kedua belah pihak, perjanjian ini diharapkan dapat lebih efektif mencegah penangkapan nelayan tradisional. - Pemanggilan Duta Besar Malaysia
Pemerintah bisa memanggil Duta Besar Malaysia untuk menyampaikan protes atas pelanggaran MOU yang terjadi. Hal ini dapat menekankan bahwa Indonesia tidak akan mentoleransi tindakan sepihak yang merugikan rakyatnya. - Konsolidasi dengan Organisasi Maritim Internasional
Indonesia bisa membawa masalah ini ke organisasi maritim internasional untuk menyoroti tindakan yang tidak sesuai dari negara tetangga, sekaligus membangun dukungan internasional agar masalah ini cepat terselesaikan. - Perlindungan Hukum yang Lebih Efektif
Bantuan hukum harus disertai dengan dukungan finansial untuk meringankan beban keluarga nelayan yang sedang menghadapi proses hukum di negara lain. - Negosiasi Batas Perairan yang Lebih Jelas
Dengan menyelesaikan negosiasi batas perairan, baik di ZEE maupun wilayah perbatasan lainnya, Indonesia bisa memberikan rasa aman kepada nelayan tradisional sehingga mereka tidak perlu khawatir melewati batas wilayah tanpa sengaja.
Mimpi Akan Lautan yang Aman
Di mata nelayan, lautan bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari identitas dan jati diri mereka. Kehilangan akses ke lautan sama dengan kehilangan sebagian dari hidup mereka. Seperti diungkapkan oleh Hendri, Ketua Aliansi Nelayan Natuna, mereka hanya berharap bisa melaut dengan aman tanpa takut ditangkap oleh aparat asing.
“Ini bukan hanya soal ikan atau uang, tapi ini tentang martabat kami sebagai orang Indonesia yang hidup dari laut. Kami hanya ingin melaut dengan tenang, mencari ikan untuk keluarga,” tutur Hendri dengan suara getir.
Perairan Indonesia, terutama di wilayah perbatasan, memang penuh tantangan. Namun, di situlah nilai strategis dan diplomatis Indonesia dipertaruhkan. Laut yang aman bagi nelayan Indonesia tidak hanya melambangkan kedaulatan, tetapi juga bentuk keberanian bangsa dalam melindungi warganya. Pemerintah perlu menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia tidak akan berdiam diri ketika hak-hak rakyatnya terlanggar di lautan perbatasan.
Dalam kepemimpinan baru, rakyat berharap bahwa Indonesia akan lebih berani menegakkan kedaulatan lautnya. Untuk nelayan-nelayan kecil di Natuna, perlindungan ini adalah harapan untuk melaut dengan tenang dan untuk tidak lagi merasa menjadi korban diplomasi yang lemah. Perjalanan menuju perbatasan yang aman mungkin masih panjang, tetapi langkah-langkah tegas dapat memastikan bahwa lautan Indonesia adalah lautan yang bebas dari tangisan nelayan yang merasa terabaikan. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Planet di Ujung Tanduk: Krisis Iklim Memuncak di Tengah Naiknya Trump ke Kursi Presiden!
Prabowo dan Trump: Era Baru Aliansi Superpower Asia-Pasifik untuk Menguasai Rantai Pasok Dunia
Pemilu AS 2024: Lautan Manusia Berjubel di TPS, Antusiasme Warga Seperti Tak Terbendung!
Trump dan Harris Bertarung Sengit: Gender Jadi Medan Perang di Pilpres AS!
Kamala Harris Siap Mengakhiri ‘Era Kekacauan’ Trump di Lapangan Bersejarah
Brutalitas Perang: Israel Gunakan Warga Sipil Palestina sebagai Tameng Hidup
Israel Serang Prajurit TNI di Lebanon: Arogansi di Atas Hukum, Dunia Terguncang!
Mahkamah Pidana Internasional Desak Penggunaan Istilah “Negara Palestina” oleh Institusi Global
Pertemuan Sejarah di Kairo: Fatah dan Hamas Bersatu Demi Masa Depan Gaza yang Tak Tergoyahkan
Kebiadaban Israel: Serangan Brutal Gaza Tewaskan 42.000 Warga Sipil Tak Berdosa
Khamenei: Serangan ke Israel Sah, Musuh Muslim Harus Bersatu Melawan Agresi
Kekejaman Israel: Serangan yang Memporak-porandakan Lebanon
Konspirasi Gelap Israel: Mossad Hancurkan Hezbollah dan Guncang Iran dari Dalam
Serangan Israel Tewaskan Nasrallah: Menabur Angin, Menuai Badai di Lebanon!
Politik Perang Netanyahu: Kekuasaan di Atas Penderitaan Rakyat!
Netanyahu Bicara Damai di PBB Sambil Kirim Bom ke Lebanon: Ironi di Tengah Perang
Semua Salah Kecuali Israel: Netanyahu Pidato di Depan Kursi Kosong PBB
Sidang Umum PBB 2024: Dunia di Ambang Kehancuran, Guterres Serukan Aksi Global!
Semangat Bandung Bangkit! Seruan Global untuk Akhiri Penindasan Palestina
Pembantaian di Lebanon: 274 Tewas dalam Serangan Israel yang Mengguncang Dunia
Pembelaan Buta Barat: Ribuan Serangan Israel Dibalas dengan Kebisuan Internasional
Serbuan Brutal Israel: Al Jazeera Dibungkam, Kebebasan Pers Terancam!
IDF Lempar Mayat Seperti Sampah: Kekejaman di Atas Atap Tepi Barat
Serangan Bom Pager Israel terhadap Hizbullah: Taktik, Dampak, dan Konteks Geopolitik
Israel Diminta ‘Pindah Kos’ dalam 12 Bulan, Dunia Menunggu Kunci Dikembalikan
Kisah Fiksi Terbaru dari Jewish Chronicle: Propaganda Hasbara Israel yang Tak Kunjung Usai
Jerman Hambat Ekspor Senjata ke Israel di Tengah Kekhawatiran Pelanggaran HAM di Gaza
“Genocide Joe” dan Klub Pecinta Perang: Drama Zionisme di Panggung Gaza 2024
Noa Argamani Klarifikasi: ‘Saya Tidak Pernah Dipukuli Hamas Selama Penahanan di Gaza’
Kamala Harris Kehilangan Dukungan Penting di Konvensi Demokrat Karena Isu Palestina
Konvensi Nasional Partai Demokrat 2024: Penetapan Kandidat, Pesan Kebebasan, dan Insiden Tak Terduga
Elon Musk Dipertimbangkan Masuk Kabinet Trump: Menguak Dinamika Politik dan Bisnis di AS
Pidato yang Tidak Pernah Ingin Disampaikan oleh Biden
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat