Jakarta, Kowantaranews.com -Kebijakan luar negeri Indonesia kembali diuji di panggung internasional ketika pemerintah secara terbuka menolak klaim China atas Laut China Selatan. Pernyataan tegas ini datang hanya dua hari setelah Presiden Indonesia Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden China Xi Jinping di Beijing. Meski pertemuan itu menghasilkan sejumlah kesepakatan kerja sama ekonomi dan maritim, Indonesia tetap bersikukuh mempertahankan kedaulatan maritimnya di tengah manuver diplomasi Beijing yang semakin gencar di Asia Tenggara.
Dalam sebuah pernyataan pada Senin, 11 November 2024, pemerintah Indonesia menyatakan tidak mengakui klaim China yang mencakup hampir seluruh Laut China Selatan berdasarkan “garis sembilan garis putus-putus” atau nine-dash line, yang digambar oleh Beijing. Klaim ini bertabrakan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei. Walaupun Indonesia tidak terlibat langsung dalam sengketa utama Laut China Selatan, wilayah lautnya di sekitar Kepulauan Natuna kerap terancam oleh aktivitas kapal-kapal China, yang memancing ketegangan diplomatik antara Jakarta dan Beijing.
Pernyataan Keras Indonesia: Pesan di Tengah Kesepakatan Maritim
Pernyataan Indonesia yang menolak klaim China ini menarik perhatian internasional, terutama karena dilontarkan tak lama setelah pertemuan bilateral antara Prabowo dan Xi yang diadakan di Beijing. Dalam pertemuan tersebut, kedua negara sepakat untuk memperkuat kerja sama ekonomi dan pengembangan maritim. Namun, Indonesia tampaknya ingin mengirim pesan kuat bahwa kerja sama ekonomi tidak berarti mengorbankan kedaulatan. Dalam pidatonya, seorang pejabat senior Indonesia mengatakan bahwa “Indonesia tidak pernah mengakui garis sembilan garis putus-putus dan tidak akan mengizinkan aktivitas China yang melanggar hak-hak kedaulatan kami di sekitar Kepulauan Natuna.”
Hal ini tidak hanya mencerminkan posisi konsisten Indonesia yang berpedoman pada hukum internasional, terutama Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, tetapi juga sinyal kuat kepada China bahwa kedaulatan Indonesia di perairan tersebut bukanlah hal yang bisa ditawar.
Latar Belakang Sengketa: Nine-Dash Line dan Kepentingan China
Klaim China atas Laut China Selatan berdasarkan “garis sembilan garis putus-putus” merupakan salah satu masalah paling kontroversial di Asia Tenggara. Garis ini digambar oleh China di peta sejak 1947 dan mencakup hampir 90% dari Laut China Selatan. Dalam dekade terakhir, klaim ini telah memicu ketegangan di kawasan karena garis tersebut melampaui batas ZEE dari sejumlah negara pesisir di Asia Tenggara, sehingga merusak kedaulatan mereka. Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag memutuskan bahwa klaim China tidak memiliki dasar hukum yang sah. Meskipun begitu, China tetap teguh mempertahankan klaimnya.
Indonesia sendiri tidak secara langsung terlibat dalam perselisihan atas Laut China Selatan, tetapi wilayah lautnya yang mengelilingi Kepulauan Natuna tumpang tindih dengan wilayah yang diklaim oleh China. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah meningkatkan patroli di sekitar Natuna dan memperkuat infrastruktur militer untuk mempertahankan hak-haknya atas wilayah tersebut.
Diplomasi Prabowo: Menjaga Keseimbangan antara Kerja Sama dan Kedaulatan
Kepemimpinan Prabowo dalam diplomasi Indonesia menunjukkan pendekatan yang kompleks dalam menghadapi China. Sebagai presiden, Prabowo telah menunjukkan ketertarikannya untuk memperkuat kerja sama ekonomi dengan Beijing. China adalah mitra dagang terbesar Indonesia dan berperan besar dalam sejumlah proyek infrastruktur penting di Tanah Air, termasuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Dalam konteks ini, kerja sama dengan China memiliki nilai strategis dalam mendorong pembangunan nasional dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun, bagi Prabowo, menjaga kedaulatan dan kehormatan nasional adalah prioritas utama. Pernyataan tegas pemerintah yang menolak klaim China adalah salah satu wujud dari prinsip bahwa kedaulatan adalah sesuatu yang tidak bisa dinegosiasikan. Langkah ini bertujuan untuk menunjukkan kepada publik domestik dan internasional bahwa Indonesia akan tetap mempertahankan hak-hak kedaulatannya di tengah kerja sama ekonomi dengan China.
Risiko dan Tantangan di Tengah Kerja Sama Maritim
Kesepakatan yang ditandatangani oleh Prabowo dan Xi di Beijing termasuk proyek pengembangan infrastruktur maritim dan peningkatan kerja sama ekonomi. Meski ini dianggap sebagai peluang besar bagi pembangunan nasional, kesepakatan ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengamat politik dan kelompok masyarakat sipil. Beberapa pihak khawatir bahwa kesepakatan ini bisa memberikan China lebih banyak pengaruh di perairan Indonesia, yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia di masa depan.
Analis internasional memperingatkan bahwa Indonesia harus berhati-hati dalam menjaga keseimbangan antara kerja sama ekonomi dan hak-hak kedaulatan. Menurut mereka, China telah terbukti menggunakan pengaruh ekonominya di negara-negara berkembang untuk mendapatkan akses ke wilayah-wilayah strategis, dan ini bisa menjadi potensi risiko bagi Indonesia.
Baca juga : Trump Kembali Berkuasa: Pasar Keuangan Asia di Tengah Badai Ketidakpastian
Baca juga : Lautan Tangis di Perbatasan: Saat Diplomasi Maritim Gagal Melindungi
Baca juga : Era Keemasan Baru! Indonesia-China Menyatukan Kekuatan Global di Bawah Kepemimpinan Prabowo dan Xi Jinping
Respons dan Tindakan Domestik: Menjaga Kedaulatan di Natuna
Di Indonesia, pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk mempertahankan kedaulatan di Kepulauan Natuna dan wilayah sekitarnya. Langkah-langkah ini meliputi peningkatan patroli maritim, pembangunan infrastruktur militer, serta pelibatan nelayan lokal untuk memperkuat kehadiran Indonesia di perairan tersebut. Natuna merupakan kawasan penting bagi Indonesia, baik dari sisi kedaulatan maupun ekonomi. Perairan Natuna kaya akan sumber daya alam, termasuk cadangan gas alam yang bernilai tinggi.
Di sisi lain, pemerintah juga telah berupaya untuk mengembangkan daerah ini sebagai bagian dari program pembangunan nasional. Ini termasuk pengembangan industri perikanan dan pariwisata di kawasan Natuna, yang tidak hanya membantu meningkatkan ekonomi lokal tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di Laut China Selatan.
Tantangan Diplomasi di Kawasan Asia Tenggara
Indonesia memiliki posisi unik dalam diplomasi kawasan Asia Tenggara, terutama di tengah ketegangan di Laut China Selatan. Sebagai salah satu negara anggota ASEAN yang memiliki pengaruh kuat, Indonesia berupaya memainkan peran sebagai penengah di antara negara-negara yang terlibat dalam sengketa. Posisi ini mengharuskan Indonesia untuk secara konsisten mendorong solusi damai dan berbasis hukum internasional, terutama melalui UNCLOS.
Namun, dengan meningkatnya ketegangan antara China dan negara-negara ASEAN lainnya, posisi ini semakin sulit untuk dipertahankan. Beberapa negara ASEAN, seperti Filipina dan Vietnam, telah memperkuat kerja sama dengan Amerika Serikat sebagai upaya untuk menahan pengaruh China di Laut China Selatan. Sementara itu, negara-negara lain seperti Kamboja cenderung lebih dekat dengan China dan mendukung pendekatan diplomatik yang lebih lunak.
Di tengah dinamika ini, Indonesia harus terus memperkuat kerjasama dengan negara-negara ASEAN lainnya dalam merumuskan posisi yang konsisten terhadap China. Indonesia juga perlu memastikan bahwa kesepakatan bilateral dengan China tidak merugikan hubungan multilateral yang telah dibangun di Asia Tenggara.
Prospek dan Tantangan ke Depan
Dalam beberapa bulan mendatang, bagaimana Indonesia menangani masalah ini akan menjadi ujian penting bagi kepemimpinan Prabowo di panggung internasional. Indonesia perlu memastikan bahwa kerja sama ekonomi dengan China tetap berjalan tanpa mengorbankan hak-hak kedaulatannya di Laut China Selatan. Ini memerlukan pendekatan diplomatik yang hati-hati dan strategi yang matang dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan pertahanan.
Jika Indonesia berhasil mempertahankan posisinya yang tegas dalam menolak klaim China, sambil tetap menjalin hubungan baik dengan Beijing, ini akan menjadi pencapaian diplomatik yang besar. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, hubungan ini bisa mengarah pada ketegangan yang lebih besar dan mengancam stabilitas regional di Asia Tenggara.
Ke depan, Indonesia perlu mempertahankan pendekatan yang berbasis hukum internasional dan memperkuat posisi di ASEAN. Dengan memimpin pendekatan damai namun tegas di Laut China Selatan, Indonesia tidak hanya bisa mempertahankan hak-hak kedaulatannya tetapi juga memperkuat posisinya sebagai pemimpin diplomasi di Asia Tenggara. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Trump Kembali Berkuasa: Pasar Keuangan Asia di Tengah Badai Ketidakpastian
Lautan Tangis di Perbatasan: Saat Diplomasi Maritim Gagal Melindungi
Planet di Ujung Tanduk: Krisis Iklim Memuncak di Tengah Naiknya Trump ke Kursi Presiden!
Prabowo dan Trump: Era Baru Aliansi Superpower Asia-Pasifik untuk Menguasai Rantai Pasok Dunia
Pemilu AS 2024: Lautan Manusia Berjubel di TPS, Antusiasme Warga Seperti Tak Terbendung!
Trump dan Harris Bertarung Sengit: Gender Jadi Medan Perang di Pilpres AS!
Kamala Harris Siap Mengakhiri ‘Era Kekacauan’ Trump di Lapangan Bersejarah
Brutalitas Perang: Israel Gunakan Warga Sipil Palestina sebagai Tameng Hidup
Israel Serang Prajurit TNI di Lebanon: Arogansi di Atas Hukum, Dunia Terguncang!
Mahkamah Pidana Internasional Desak Penggunaan Istilah “Negara Palestina” oleh Institusi Global
Pertemuan Sejarah di Kairo: Fatah dan Hamas Bersatu Demi Masa Depan Gaza yang Tak Tergoyahkan
Kebiadaban Israel: Serangan Brutal Gaza Tewaskan 42.000 Warga Sipil Tak Berdosa
Khamenei: Serangan ke Israel Sah, Musuh Muslim Harus Bersatu Melawan Agresi
Kekejaman Israel: Serangan yang Memporak-porandakan Lebanon
Konspirasi Gelap Israel: Mossad Hancurkan Hezbollah dan Guncang Iran dari Dalam
Serangan Israel Tewaskan Nasrallah: Menabur Angin, Menuai Badai di Lebanon!
Politik Perang Netanyahu: Kekuasaan di Atas Penderitaan Rakyat!
Netanyahu Bicara Damai di PBB Sambil Kirim Bom ke Lebanon: Ironi di Tengah Perang
Semua Salah Kecuali Israel: Netanyahu Pidato di Depan Kursi Kosong PBB
Sidang Umum PBB 2024: Dunia di Ambang Kehancuran, Guterres Serukan Aksi Global!
Semangat Bandung Bangkit! Seruan Global untuk Akhiri Penindasan Palestina
Pembantaian di Lebanon: 274 Tewas dalam Serangan Israel yang Mengguncang Dunia
Pembelaan Buta Barat: Ribuan Serangan Israel Dibalas dengan Kebisuan Internasional
Serbuan Brutal Israel: Al Jazeera Dibungkam, Kebebasan Pers Terancam!
IDF Lempar Mayat Seperti Sampah: Kekejaman di Atas Atap Tepi Barat
Serangan Bom Pager Israel terhadap Hizbullah: Taktik, Dampak, dan Konteks Geopolitik
Israel Diminta ‘Pindah Kos’ dalam 12 Bulan, Dunia Menunggu Kunci Dikembalikan
Kisah Fiksi Terbaru dari Jewish Chronicle: Propaganda Hasbara Israel yang Tak Kunjung Usai
Jerman Hambat Ekspor Senjata ke Israel di Tengah Kekhawatiran Pelanggaran HAM di Gaza
“Genocide Joe” dan Klub Pecinta Perang: Drama Zionisme di Panggung Gaza 2024
Noa Argamani Klarifikasi: ‘Saya Tidak Pernah Dipukuli Hamas Selama Penahanan di Gaza’
Kamala Harris Kehilangan Dukungan Penting di Konvensi Demokrat Karena Isu Palestina
Konvensi Nasional Partai Demokrat 2024: Penetapan Kandidat, Pesan Kebebasan, dan Insiden Tak Terduga
Elon Musk Dipertimbangkan Masuk Kabinet Trump: Menguak Dinamika Politik dan Bisnis di AS
Pidato yang Tidak Pernah Ingin Disampaikan oleh Biden
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat