Jakarta, Kowantaranews.com -Di sudut-sudut warteg yang ramai dengan aroma nasi orek tempe, tempe goreng, telur asin dan kopi hitam, kini ada pemandangan yang makin familiar: para lulusan sarjana dan SMK duduk termenung, menyeruput teh manis, sambil menatap layar ponsel yang tak kunjung membawa kabar baik. Curriculum Vitae (CV) mereka tersimpan rapi di folder digital, namun panggilan kerja seolah menjadi mimpi yang semakin jauh. Fenomena ini bukan sekadar bahan candaan di meja warteg, melainkan cerminan krisis ketenagakerjaan yang kian mengkhawatirkan di Indonesia pada tahun 2025. Dengan ekonomi yang melempem dan pengangguran yang melonjak, pekerja terdidik justru menjadi kelompok paling rentan. Apa yang salah? Mengapa lulusan terbaik bangsa kini lebih sering terlihat di warteg ketimbang di ruang kantor?
Krisis Pengangguran di Kalangan Terdidik
Data terbaru mencatat lonjakan pengangguran yang signifikan di kalangan lulusan terdidik. Tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi naik dari 12,12% pada Februari 2024 menjadi 13,89% pada Februari 2025. Namun, yang lebih mencengangkan adalah angka pengangguran lulusan SMK yang mencapai 22,37% dan lulusan SMA yang bahkan lebih tinggi, yakni 28,01%. Sebagai perbandingan, lulusan SMP memiliki tingkat pengangguran 16,20%, sementara lulusan SD ke bawah 17,09%. Pola ini menunjukkan paradoks yang pahit: semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar pula risiko menganggur. Pendidikan, yang seharusnya menjadi jalan menuju masa depan cerah, kini justru menjadi beban.
Penyebab utama dari tren ini adalah perlambatan ekonomi. Pada triwulan pertama 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,87%, turun dari 5,11% pada periode yang sama di tahun 2024. Akibatnya, jumlah pengangguran bertambah 83.000 orang, mencapai total 7,28 juta jiwa. Sektor formal, yang biasanya menyerap tenaga kerja terdidik seperti di bidang keuangan, jasa, dan administrasi pemerintahan, mengalami penurunan serapan tenaga kerja. Banyak perusahaan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk memangkas biaya operasional, dan pekerja terdidik, yang sering menempati posisi dengan gaji lebih tinggi, menjadi sasaran utama.
Namun, PHK bukan satu-satunya masalah. Pekerja terdidik juga dinilai kurang fleksibel dalam mencari pekerjaan. Banyak lulusan sarjana dan SMK yang cenderung selektif, menunggu pekerjaan yang sesuai dengan gelar, ekspektasi gaji, atau status sosial mereka. “Saya lulusan teknik sipil, masa harus kerja jadi driver online atau jualan di pasar? Gak sesuai sama ilmu saya,” ujar Dedi, seorang sarjana berusia 26 tahun yang sudah dua tahun menganggur, sambil memesan sepiring nasi di warteg dekat rumahnya di Bekasi. Sikap seperti ini, meski wajar secara manusiawi, membuat mereka sulit bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif, di mana fleksibilitas menjadi kunci bertahan.
Sektor Pertanian: Penyelamat Sementara
Di tengah krisis, sektor pertanian masih menjadi “penyerap darurat” tenaga kerja. Banyak lulusan terdidik yang akhirnya pulang kampung, membantu orang tua di sawah, kebun, atau usaha tani lainnya. Namun, ini bukan solusi ideal. Lapangan kerja di sektor pertanian terus menyusut seiring modernisasi pertanian dan urbanisasi yang masif. Data menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional terus menurun, dan tenaga kerja di sektor ini didominasi oleh pekerja dengan pendidikan rendah. Bagi lulusan sarjana atau SMK, bekerja di sektor pertanian sering kali terasa seperti penurunan status, baik dari segi gengsi maupun penghasilan.
Sektor informal, seperti ojek online, pedagang kaki lima, atau usaha kuliner, menjadi alternatif lain. Warteg, misalnya, bukan hanya tempat nongkrong, tetapi juga ladang usaha bagi sebagian lulusan yang mencoba peruntungan dengan berjualan makanan. Namun, sektor informal menuntut ketangguhan mental dan fisik yang tidak semua lulusan terdidik miliki. Banyak dari mereka yang akhirnya memilih “menunggu” kesempatan kerja formal, menghabiskan waktu di warteg sambil scrolling media sosial, berharap ada lowongan yang sesuai dengan impian mereka.
Kesenjangan Pendidikan dan Industri
Salah satu akar masalah terbesar adalah mismatch antara sistem pendidikan dan kebutuhan industri. Kurikulum di sekolah menengah dan perguruan tinggi lebih mengutamakan kuantitas, seperti angka kelulusan dan tingkat partisipasi pendidikan, ketimbang kualitas. Banyak lulusan SMK, terutama dari jurusan seperti maritim, pertambangan, teknologi informasi, dan kesehatan, tidak memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan di lapangan. “Di SMK, saya diajari dasar-dasar jaringan komputer, tapi pas melamar kerja, perusahaan minta keahlian spesifik seperti cloud computing atau cybersecurity,” keluh Rina, lulusan SMK jurusan Teknik Komputer dan Jaringan di Bandung.
Perguruan tinggi juga tidak luput dari kritik. Banyak program studi yang kurang relevan dengan perkembangan zaman, menghasilkan sarjana yang kaya teori tetapi miskin praktik. Industri saat ini membutuhkan tenaga kerja yang mahir di bidang kecerdasan buatan, analisis data, atau teknologi hijau, tetapi banyak kurikulum masih terpaku pada materi usang. Akibatnya, lulusan terdidik Indonesia sering kali kalah saing, bahkan di pasar kerja domestik. Kesenjangan ini diperparah oleh lambatnya institusi pendidikan beradaptasi dengan tren global, seperti digitalisasi dan otomatisasi.
Langkah Pemerintah: Harapan atau Sekadar Janji?
Untuk mengatasi krisis ini, Kementerian Tenaga Kerja meluncurkan program School to Work Transition, yang menawarkan pelatihan dan pemagangan nasional. Program ini berfokus pada keterampilan masa depan, seperti elektronik, kecerdasan buatan, bahasa asing, soft skills, dan kewirausahaan. SMK menjadi prioritas utama, mengingat tingkat pengangguran lulusannya yang sangat tinggi. Pemerintah juga mendorong kolaborasi dengan sektor swasta untuk menciptakan lebih banyak peluang magang dan penempatan kerja.
Namun, banyak yang meragukan efektivitas program ini. “Pelatihan itu bagus, tapi cuma tiga bulan. Setelah selesai, kami tetap harus cari kerja sendiri tanpa bantuan nyata,” ujar Budi, seorang lulusan SMK yang mengikuti pelatihan di Jakarta. Skala program ini juga masih terbatas, jauh dari cukup untuk menampung jutaan lulusan yang membutuhkan bantuan. Anggaran yang dialokasikan sering kali tidak sebanding dengan ambisi yang dicanangkan, dan koordinasi antarinstansi masih menjadi kendala.
Baca juga : AS-China Tarif Damai Sementara, Indonesia Siap Cetak Cuan dari Warteg ke Pasar Global!
Baca juga : Deregulasi Bikin Impor Melaju, Industri Lokal Teriak: ‘Warteg Aja Lebih Terlindungi!’
Baca juga : Preman Ngepet di Warteg, Pengangguran Ngetem: Jabodetabek Jadi Ring Tinju Ormas!
Pandangan Para Ahli
Para ahli menilai bahwa krisis pengangguran ini adalah hasil dari faktor struktural dan siklus ekonomi. “Perlambatan ekonomi global dan domestik membuat perusahaan lebih selektif. Pekerja terampil justru jadi korban PHK karena gaji mereka lebih tinggi,” ujar Dr. Lina Hartono, ekonom dari Universitas Gadjah Mada. Ia juga menyoroti peran serikat pekerja yang kurang optimal dalam memberikan pelatihan adaptif bagi anggotanya.
Selain itu, transisi ekonomi Indonesia menuju sektor jasa tidak diimbangi dengan kesiapan sumber daya manusia. “Kita ingin jadi ekonomi berbasis jasa, tapi SDM kita belum siap. Banyak lulusan yang tidak punya keterampilan digital atau kemampuan beradaptasi yang dibutuhkan,” tambah Lina. Hal ini menciptakan lingkaran setan: lulusan tidak memenuhi kebutuhan industri, dan industri enggan berinvestasi pada tenaga kerja yang dianggap kurang kompeten.
Warteg: Simbol Keputusasaan atau Ketangguhan?
Warteg, dalam konteks ini, menjadi lebih dari sekadar tempat makan murah. Ia adalah ruang sosial di mana lulusan menganggur berbagi cerita, keluh kesah, dan harapan. Di satu sisi, warteg mencerminkan keputusasaan—tempat di mana waktu berhenti bagi mereka yang terjebak dalam limbo pengangguran. Di sisi lain, warteg juga simbol ketangguhan. Banyak lulusan yang akhirnya bangkit dari keterpurukan, memulai usaha kecil, atau menemukan inspirasi baru di tengah obrolan santai di meja warteg.
Namun, Indonesia tidak bisa mengandalkan warteg sebagai solusi. Krisis pengangguran di kalangan terdidik membutuhkan intervensi yang lebih serius: reformasi pendidikan yang relevan dengan industri, investasi besar-besaran pada pelatihan vokasi, dan kebijakan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja baru. Tanpa langkah strategis, fenomena “sarjana nganggur, SMK juara menganggur” akan terus berlanjut, dan warteg akan tetap menjadi saksi bisu dari mimpi-mimpi yang tertunda. By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait
AS-China Tarif Damai Sementara, Indonesia Siap Cetak Cuan dari Warteg ke Pasar Global!
Deregulasi Bikin Impor Melaju, Industri Lokal Teriak: ‘Warteg Aja Lebih Terlindungi!’
Preman Ngepet di Warteg, Pengangguran Ngetem: Jabodetabek Jadi Ring Tinju Ormas!
The Fed Bikin BI Pusing, Rupiah Ngegas, Warteg Tetap Ramai!
Ojol Belum BPJS, Aplikator Bilang ‘Gaspol!’, Warteg Jadi Penutup Perut!
PHK Bikin Kantoran Jadi Penutup Warteg: Prabowo Geleng-Geleng, Orek Tempe Tetap Sold Out!
Jobless Jadi Trend, Dompet Ikut Send: BPS vs IMF Panas, Warteg Tetap Menang!
Ekonomi Loyo, Pengangguran Melejit: Warteg Tetap Ramai, Tapi Dompet Makin Sepi!
Ekonomi Indonesia 2025: Konsumsi Loyo, Rupiah Goyang, Warteg Tetap Jaya!
PMI Anjlok, IKI Goyang, Warteg Tetap Jaya: Industri Indonesia Lawan Badai Tarif Trump!
PHK Mengintai, Tarif Trump Menghantui, Warteg: Tenang, Ada Telor Dadar!
Warteg Halal Harap-Harap Cemas: UMKM Indonesia Lawan Tarif Trump dan Gempuran Impor China!
Prabowo Jalan-jalan ke China, ASEAN Cuma Dapat Senyum dari
GPN & QRIS: Warteg Go Digital, Transaksi Nusantara Gaspol, AS Cuma Bisa Cemas!
Indonesia vs AS: Tarif Impor Bikin Heboh, Warteg Jagokan Dompet Digital!
Utang Rp 250 Triliun Numpuk, Pemerintah Frontloading Biar Warteg Tetep Jualan Tempe!
Indonesia ke AS: ‘Tarif Dikurangin Dong, Kami Beli Energi, Kedelai, Sekalian Stok Warteg!’
TikTok Tawar Tarif: AS-China Ribut, Indonesia Santai di Warteg!
Kelapa Meroket, Warteg Meratap: Drama Harga di Pasar Negeri Sawit!
Trump Tarik Tarif, Rupiah Rontok, Warteg pun Waswas: Drama Ekonomi 2025!
Danantara dan Dolar: Prabowo Bikin Warteg Nusantara atau Kebingungan?
Warteg Lawan Tarif Trump: Nasi Oreg Tempe Bikin Dunia Ketagihan!
Gempuran Koperasi Desa Merah Putih: 70.000 Pusat Ekonomi Baru Siap Mengubah Indonesia!
1 Juta Mimpi Terhambat: UMKM Berjuang Melawan Kredit Macet
Warteg Jadi Garda Terdepan Revolusi Gizi Nasional!
Skema Makan Bergizi Gratis: Asa Besar yang Membebani UMKM
Revolusi Gizi: Makan Gratis untuk Selamatkan Jutaan Jiwa dari Kelaparan
Gebrakan Sejarah: Revolusi Makan Bergizi Gratis, Ekonomi Lokal Bangkit!
PPN 12 Persen: Harapan atau Ancaman Bagi Ekonomi Rakyat?
Menuju Indonesia Tanpa Impor: Mimpi Besar atau Bom Waktu?
Gebrakan PPN 12 Persen: Strategi Berani yang Tak Menjamin Kas Negara Melejit!
Rupiah di Ujung Tanduk: Bank Indonesia Siapkan “Senjata Pamungkas” untuk Lawan Gejolak Dolar AS!
PPN Naik, Dompet Rakyat Tercekik: Ancaman Ekonomi 2025 di Depan Mata!
12% PPN: Bom Waktu untuk Ekonomi Rakyat Kecil
Rapat Elite Kabinet! Bahlil Pimpin Pertemuan Akbar Subsidi Energi demi Masa Depan Indonesia
Ekonomi Indonesia Terancam ‘Macet’, Target Pertumbuhan 8% Jadi Mimpi?
Janji Pemutihan Utang Petani: Kesejahteraan atau Jurang Ketergantungan Baru?
Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!
Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!
Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?
Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?
Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!
Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!
Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!
Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?
Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!
Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung