Jakarta, Kowantaranews.com – Dunia sedang berputar lebih cepat dari drama sinetron, dan Indonesia kini jadi salah satu bintang utama dalam episode terbaru: Kebijakan Tarif Donald Trump. Dengan tarif resiprokal 32% yang diterapkan oleh Presiden AS ke-47 itu, perekonomian Indonesia seperti naik roller coaster tanpa sabun pengaman. Rupiah? Nangis bombay di level Rp17.217 per dolar AS, melebihi mimpi buruk krisis 1998. Sementara itu, ambisi swasembada pangan ala pemerintahan Prabowo Subianto, yang digadang-gadang bakal bikin petani jadi pahlawan nasional, kini dihadapkan pada dilema epik: lanjut impor beras atau ajak petani bikin konten TikTok biar viral? Mari kita urai cerita ini dengan bumbu humor, fakta, dan sedikit sindiran ala pasar tradisional.
Babak I: Tarif Trump dan Rupiah yang Drama Queen
Bayangkan ini: Donald Trump, dengan rambut ikoniknya yang seolah menantang gravitasi, menandatangani kebijakan tarif 32% untuk barang impor ke AS. Tujuannya? Lindungi ekonomi AS, katanya. Tapi di sisi lain dunia, Indonesia yang biasa kirim tekstil, furnitur, dan sepatu ke Negeri Paman Sam langsung panik. Ekspor tekstil, yang menyumbang 50-60% dari total ekspor ke AS, tiba-tiba jadi seperti baju diskon di pasar malam—susah laku karena harganya naik. Industri padat karya di Jawa Barat dan Kalimantan Timur mulai ketar-ketir. “Kalau pasar AS susut, kami potong karyawan atau apa? Bikin kaus kaki buat pasar lokal doang?” keluh seorang pengusaha tekstil di Bandung, sambil menatap tumpukan kain yang kini lebih cocok jadi dekorasi gudang.
Tapi itu baru pemanasan. Rupiah, yang sepertinya punya bakat jadi aktris drama, langsung ambil peran utama. Dari level yang sudah bikin dompet menangis, nilai tukar kini anjlok ke Rp17.217 per dolar. Ini bukan cuma soal harga iPhone yang makin tak terjangkau, tapi juga biaya impor pangan yang melonjak. Gandum? Kedelai? Daging? Semuanya mostly datang dari AS, dan sekarang harganya naik seperti tiket konser K-pop pas hari H. Data 2024 bilang Indonesia impor 12,3 juta ton gandum dan 8,2 juta ton kedelai. Dengan tarif baru, harga pangan impor diprediksi naik 2,8-4%. Bayangkan bakpao kesukaanmu tiba-tiba jadi seharga steak wagyu. Dompet rakyat jelata mana kuat?
Efek domino ini bikin defisit perdagangan pangan non-perkebunan, yang sudah menyentuh US$17,1 miliar di 2024, kini seperti lubang hitam yang siap menelan anggaran negara. Pemerintah pun sibuk rapat, tapi sepertinya masih bingung: bayar utang luar negeri yang makin mahal dulu, atau stok beras biar rakyat nggak demo? Drama ekonomi ini bikin kita bertanya: apa kabar swasembada pangan yang dijanjikan Prabowo?
Baca juga : Trump Tarifkan Dunia, Turis Kabur ke Bali ? HIDUP BALI !
Baca juga : Rupiah Jatuh, Bankir Berlatih Yoga: Tetap Tenang di Tengah Badai Dollar
Baca juga : Negeri Kaya SDA, Tapi Cintanya Nggak Pasti
Babak II: Swasembada Pangan: Antara Beras Impor dan Petani TikTok
Masuk ke inti cerita: swasembada pangan. Prabowo Subianto, yang baru saja dilantik dengan semangat “Indonesia Emas 2045,” punya mimpi besar: bikin Indonesia nggak lagi ngantre di pelabuhan buat terima beras impor. Tapi, seperti kisah superhero yang selalu punya musuh bebuyutan, kebijakan tarif Trump jadi villain yang nggak diundang. Indonesia masih impor 12 komoditas pangan utama, termasuk beras (4,5 juta ton di 2024), meskipun produksi beras global sedang surplus. Ironisnya, kuota impor malah dihapus sebagai bagian negosiasi dengan AS. Hasilnya? Pasar lokal berisiko kebanjiran beras murah dari luar, bikin petani lokal cuma bisa nyanyi “Gagal Panen” sambil bikin konten TikTok.
Bicara soal petani, mereka sebenarnya sudah dapat angin segar dari kebijakan harga gabah Rp6.500 per kg. Tapi, kalau beras impor lebih murah, siapa yang mau beli gabah lokal? Petani di Jawa Tengah sudah mulai curhat di grup WhatsApp: “Mending kita bikin dance TikTok pake cangkul, kali aja viral.” Liberalisasi impor ini bikin insentif produksi lokal loyo, apalagi dengan prediksi bahwa perdagangan pangan global bakal turun 4,7%. Kedelai turun 8%, daging 5%, susu 3,9%. Indonesia, sebagai importir besar, cuma bisa pasrah lihat harga naik sambil berdoa stok di gudang nggak habis.
Belum lagi soal rantai pasok global yang kini kayak jalanan Jakarta pas hujan—macet dan bikin stres. Kebijakan Trump bikin semua orang di rantai pasok pangan global panik, dari petani di Iowa sampai pedagang di Tanah Abang. Indonesia, yang masih bergantung pada impor untuk pangan non-perkebunan, kini harus berpikir ulang: lanjut impor dengan harga selangit, atau ajak petani bikin revolusi pangan sambil ditemani filter TikTok biar kekinian?
Babak III: Peluang di Tengah Kekacauan
Tapi, tunggu dulu! Di tengah drama ini, Indonesia bukan cuma jadi penutup telinga sambil nangis. Pemerintah punya beberapa kartu as yang bisa dimainkan, meski kadang terasa seperti main uno tanpa kartu “wild.” Pertama, diversifikasi pasar ekspor. Lupakan AS sejenak—ada BRICS, Eropa, dan Asia yang siap jadi pelanggan baru. Contohnya, pisang dari Kutai Timur mulai dilirik pasar non-AS. “Kami kirim pisang ke China, lebih manis dari janji mantan,” canda seorang eksportir lokal. Kalau serius, langkah ini bisa kurangi ketergantungan pada AS dan bikin neraca dagang nggak terlalu miring.
Kedua, penguatan pasar domestik. Kampanye “Bangga Buatan Indonesia” dan digitalisasi UMKM jadi senjata ampuh. Bayangkan kalau petani bisa jual beras langsung lewat e-commerce, pakai hashtag #BerasLokalJaya. Plus, hilirisasi pertanian—seperti bikin bioenergi atau ngembangin food estate—bisa jadi game changer. Food estate di Kalimantan dan Papua, meski masih jadi bahan meme karena progresnya lambat, punya potensi bikin Indonesia nggak cuma impor, tapi ekspor pangan. Tapi ya itu, butuh duit dan komitmen, bukan cuma jargon.
Ketiga, diplomasi ekonomi. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, yang sepertinya punya bakat jadi penutup negosiasi, lagi sibuk lobi AS. Caranya? Tawarin impor gandum dan LNG biar defisit dagang nggak terlalu jelek, sambil minta tarif diturunin. Ini kayak main catur, tapi lawannya Trump yang lebih suka main monopoly. Kalau berhasil, mungkin Indonesia bisa tetap ekspor tekstil tanpa nangis, sambil jaga stok pangan domestik.
Babak IV: Refleksi Sejarah dan Ancaman Nyata
Kalau kita rewind ke masa lalu, swasembada beras era Soeharto di 1984 pernah jadi kebanggaan nasional. Tapi, seperti drama Korea yang endingnya ketebak, keberhasilan itu cuma bertahan 5 tahun. Kenapa? Karena fokusnya cuma stabilin harga, bukan bikin produksi tahan banting. Begitu krisis 1998 datang, impor beras melonjak ke 6 juta ton. Pelajaran buat Prabowo: swasembada nggak cuma soal panen raya, tapi juga soal infrastruktur, teknologi, dan nyali buat bilang “tidak” ke impor murahan.
Ancaman lain? Iklim. El Niño di 2024 bikin produksi beras turun 0,76 juta ton. Kalau nggak ada investasi di irigasi dan teknologi tahan iklim, mimpi swasembada cuma bakal jadi konten nostalgia. Belum lagi infrastruktur pertanian yang masih kayak jalan desa—banyak lubang, susah dilupain.
Babak V: Proyeksi dan Harapan
Tenang, dunia nggak sepenuhnya gelap. Indeks harga pangan global di 127,1 (Maret 2025) memang bikin deg-degan, tapi produksi pangan global masih stabil. Indonesia punya keunggulan di minyak sawit, yang harganya naik dan bisa jadi penyelamat neraca dagang. Tapi, buat swasembada, pemerintah harus all-in: subsidi pupuk, benih, dan kredit buat petani; kuota impor yang ketat; dan food estate yang nggak cuma wacana. Kalau petani bisa produksi dengan tenang, mungkin mereka nggak perlu bikin TikTok buat cari perhatian.
Rekomendasi lain? Sinergi kebijakan. Stimulus fiskal, reformasi pajak (PPh impor turun ke 0,5%), dan stabilitas politik harus jalan bareng. Kalau cuma ngandalin satu sektor, ya sama aja kayak nyanyi solo di konser band—nggak bakal maksimal.
Petani atau TikTok?
Kebijakan tarif Trump bikin Indonesia seperti penutup mata di tengah badai. Rupiah nangis, impor pangan bikin deg-degan, dan swasembada pangan jadi ujian sejati buat Prabowo. Tapi, di tengah kekacauan, ada peluang: diversifikasi pasar, UMKM yang go digital, dan petani yang mungkin bisa jadi influencer sambil nanam padi. Yang jelas, swasembada nggak bakal datang kalau cuma ngandalin impor atau konten viral. Butuh nyali, duit, dan kebijakan yang nggak cuma manis di bibir. Jadi, pilih mana: beras impor atau petani yang bikin TikTok sambil panen raya? Indonesia, bola ada di tanganmu. By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Trump Tarifkan Dunia, Turis Kabur ke Bali ? HIDUP BALI !
Rupiah Jatuh, Bankir Berlatih Yoga: Tetap Tenang di Tengah Badai Dollar
Negeri Kaya SDA, Tapi Cintanya Nggak Pasti
Skandal Emas Antam: Korupsi Rp 3,3 Triliun Guncang Keuangan Negara!
Maraknya Penembakan! Indonesia Dibayangi Krisis Keamanan
Mengapa Amnesti untuk Koruptor Bukan Solusi?
Skandal Abad Ini: Jokowi Masuk Daftar Elite Kejahatan Global 2024
Pengampunan Koruptor: Harapan Baru atau Titik Nol Pemberantasan Korupsi?
Koruptor Diampuni? Pengkhianatan Terbesar terhadap Keadilan!
Koruptor Bebas dengan Denda? Drama Pengampunan yang Gagal Total!
Korupsi: Kanker Mematikan yang Menggerogoti Indonesia!
Mary Jane Veloso: Dua Kutub Nasib dalam Satu Hidup
Darah Remaja di Ujung Peluru: Aksi Polisi yang Berujung Tragedi
Peluru Tajam di Jalanan: Tragedi di Tangan Penegak Hukum
Pelajar Tertembak: Nyawa Melayang di Tengah Tuduhan Tawuran yang Sarat Kontroversi
Guru Pengabdi 16 Tahun Dibebaskan dari Jerat Kriminalisasi: Keadilan yang Akhirnya Datang
Era Baru HAM di Bawah Prabowo: Harapan Besar atau Ancaman Gelap?
Teriakan Keadilan: Perjuangan Tak Berujung untuk Sang Siswi yang Terlupakan!
Prabowo Gempur Korupsi: Bersihkan Indonesia Demi Ekonomi Sehat dan Masa Depan Cerah!
Jerat Hukum Mengerikan: Keluarga Rafael Alun Terancam Gulungan Besar Kasus Pencucian Uang!
Kementerian Komunikasi dan Digital Diguncang! Komplotan Pelindung Situs Judi Terbongkar
Skandal Judi Online: 11 Pegawai Komdigi Terlibat, Menteri Geram dan Bertindak Tegas!
Drama Penahanan Tom Lembong: Menguak Skandal Besar Impor Gula di Indonesia
Benteng Pemberantas Judi Daring Justru Jadi Sarang Perlindungan!
Putusan MK Guncang UU Cipta Kerja: Kluster Ketenagakerjaan Tumbang, Buruh Rayakan Kemenangan Besar!
Drama Korupsi Gula: Tom Lembong di Bawah Tembak Politik dan Hukum!
Skandal Manis Berujung Pahit: Misteri Korupsi Gula yang Terbongkar Setelah Sembilan Tahun
RUU Perampasan Aset: Harapan Terakhir Bangsa Mengakhiri Korupsi!
Supriyani: Guru yang Dituduh Memukul Anak Polisi, Terjebak dalam Jaring Hukum yang Tak Kunjung Lepas
Reformasi Total: Gaji Hakim Melambung, Integritas Pengadilan Terpuruk ?
Jerat Maut Korupsi: Sahbirin Noor dan Miliaran Rupiah Uang Suap yang Terkubur di Balik Proyek
Indonesia, Surga bagi Koruptor dengan Vonis Ringan yang Mengejutkan!
Pemecatan yang Menghancurkan Karier: Rudy Soik dan Sidang Tanpa Suara
Hutan Indonesia di Ujung Kehancuran: Jerat Impunitas Korporasi yang Tak Terbendung
Rudy Soik: Sang Penantang Mafia BBM yang Dikorbankan Demi Kekuasaan?
Skandal Korupsi Gubernur Kalsel: Sahbirin Noor Dicegah ke Luar Negeri, Terancam DPO!
MAKI Tantang Kejagung! Robert Bonosusatya Bebas dari Jerat Korupsi Timah?
Kejagung Bongkar Rekor! Uang Rp 372 Miliar Disembunyikan di Lemari Besi Kasus Duta Palma
Skandal Tambang Miliaran! Mantan Gubernur Kaltim Terjerat Korupsi Besar-Besaran ?
Tragedi Bekasi: Salah Prosedur Polisi ? , Tujuh Remaja Tewas di Kali!
Mengendalikan Triliunan Rupiah: Bos Narkoba Hendra Sabarudin dari Dalam Lapas
Relawan Tanam Pohon atau Tanam Konflik? PT MEG dan Drama Eco City di Pulau Rempang
Menjaga KPK: Ketatnya Pengawasan, Longgarnya Etika
Drama Kepemimpinan Kadin: Siapa Bos, Siapa ‘Bos’?
Drama Kadin: Aklamasi Sah, Kuorum Bisa Disanggah
300 Triliun Hilang, Hukuman Ditebus dengan Rp 5.000: Harga Keadilan di Tanah Timah
Munaslub: Ketika Kuorum Jadi Interpretasi Pribadi
Drama Munaslub: Ketika Kursi Ketua Kadin Jadi Rebutan, Hukum Cuma Penonton?
Anindya Bakrie Naik Tahta Kadin: Munaslub ala ‘Keluarga Besar’ yang Ditolak 20+ Provinsi
Tinjauan Pro dan Kontra Penempatan Komponen Cadangan di Ibu Kota Nusantara
Strategi Presiden Jokowi dalam Memilih Pimpinan KPK: Membaca Dinamika Politik dan Hukum di Indonesia
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi