Jakarta, Kowantaranews.com -Pagi yang cerah di Jakarta pada Jumat, 11 April 2025, mendadak diselimuti awan kelabu di dunia keuangan global. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengguncang pasar dengan keputusan kontroversialnya: menaikkan bea masuk impor (BMI) untuk produk-produk asal China hingga mencapai angka fantastis, 145 persen. Langkah ini bukan hanya sekadar kebijakan dagang biasa, melainkan sebuah deklarasi perang ekonomi yang membuat dunia terhenyak. Tak tinggal diam, China dengan sigap membalas, menaikkan tarif untuk produk Amerika Serikat hingga 125 persen. Sementara itu, negara-negara lain mendapat sedikit nafas lega—tarif impor mereka ditangguhkan selama 90 hari, menjadikan China sebagai satu-satunya sasaran utama kebijakan proteksionis Trump.
Keputusan ini bukanlah kejutan total bagi mereka yang mengikuti dinamika kepemimpinan Trump. Selama masa kepresidenannya, ia kerap menggunakan tarif sebagai senjata untuk menekan mitra dagang, dengan dalih melindungi ekonomi domestik AS. Namun, skala kenaikan kali ini—145 persen—adalah langkah yang bahkan oleh para pengamat dianggap sebagai lompatan berani, atau mungkin gegabah, dalam permainan catur ekonomi global. Pasar keuangan, yang selalu sensitif terhadap ketidakpastian, langsung bereaksi keras. Indeks S&P 500 anjlok 3,5 persen, sementara Dow Jones Industrial Average tak kalah parah, merosot 2,5 persen. Harga minyak dan gas pun ikut terjun bebas, mencerminkan kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global.
Kebijakan Tarif: Strategi atau Kekacauan?
Di balik keputusan ini, Trump tampak memainkan permainan ganda yang membingungkan. Beberapa hari sebelumnya, ia bersikeras menutup pintu negosiasi dengan China, menyebut Beijing sebagai “pengkhianat ekonomi” yang telah lama memanfaatkan AS. Namun, dalam konferensi pers di Gedung Putih pada Jumat pagi waktu AS, nada Trump berubah drastis. Dengan senyum khasnya, ia menyatakan optimisme bahwa dirinya bisa duduk bersama Presiden China Xi Jinping untuk mencapai kesepakatan dagang yang “fenomenal.” Pernyataan ini membuat banyak pihak mengernyitkan dahi. Apakah ini strategi untuk menenangkan pasar, atau sekadar ketidakkonsistenan yang telah menjadi ciri khas Trump?
Sikap Trump yang plin-plan ini bukanlah hal baru. Selama kampanye pemilihannya, ia berulang kali menjanjikan kebijakan “America First” yang keras terhadap China, namun di saat yang sama sering kali meninggalkan ruang untuk negosiasi demi keuntungan politik. Kali ini, meski ia memuji Uni Eropa karena tidak membalas tarif AS—sebuah langkah yang ia sebut sebagai “kemenangan diplomasi”—optimismenya gagal menular ke pasar keuangan. Investor, yang lebih percaya pada angka daripada retorika, memilih untuk menjual saham mereka, menciptakan gelombang kepanikan yang menyebar dari Wall Street ke bursa-bursa di Asia dan Eropa.
Baca juga : ASEAN vs Trump: Sambal Diplomasi yang Bikin Gedung Putih Kepedesan! hehehe
Baca juga : Konsesi atau Kompetisi? Indonesia Pilih Jadi Bos ASEAN, Bukan Bocah AS!
Baca juga : Trump Tarik Tarif, Indonesia Tarik Napas: Siapa Menang?
Reaksi Pasar: Dari Wall Street hingga Jakarta
Di Wall Street, suasana pada Jumat sore waktu setempat terasa seperti roller coaster. Data real-time menunjukkan bahwa S&P 500 ETF (SPY) sempat menyentuh level terendah intraday di $520,447 sebelum akhirnya ditutup di $533,94, naik tipis 1,79 persen dari penutupan sebelumnya. Dow Jones ETF (DIA) mengalami nasib serupa, turun ke $392,784 sebelum rebound ke $401,91, naik 1,58 persen. Meski penutupan menunjukkan pemulihan parsial, volatilitas intraday ini mencerminkan ketidakpastian yang dipicu oleh pengumuman tarif Trump. Bursa Asia, termasuk Nikkei di Tokyo dan Hang Seng di Hong Kong, juga mencatatkan penurunan signifikan, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Jakarta ikut tertekan meski tidak separah pasar global.
Harga komoditas, khususnya minyak dan gas, turut menjadi korban. Kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global akibat perang dagang membuat investor mengurangi eksposur mereka pada aset berisiko. Harga minyak mentah Brent, misalnya, dilaporkan merosot mendekati level terendah dalam tiga bulan terakhir, sementara gas alam juga kehilangan daya tariknya sebagai lindung nilai inflasi. Bagi Indonesia, yang bergantung pada ekspor komoditas, penurunan ini menambah tekanan pada neraca perdagangan, meskipun penangguhan tarif untuk negara-negara non-China memberikan sedikit ruang bernapas.
Analisis dan Pandangan Para Ahli
Para analis keuangan tidak tinggal diam menyikapi drama ekonomi ini. Tim dari Rabobank, dalam laporan terbaru mereka, memperingatkan bahwa perang dagang AS-China berpotensi menarik pasar ke dua arah yang berlawanan. Di satu sisi, tarif tinggi dapat melindungi industri domestik AS, seperti manufaktur dan baja, yang selama ini menjadi fokus Trump. Namun, di sisi lain, kebijakan ini berisiko meningkatkan harga barang konsumsi, mengganggu rantai pasok global, dan akhirnya memukul pertumbuhan ekonomi AS sendiri. “Kebijakan sebelumnya sudah menunjukkan dampaknya,” tulis Rabobank, merujuk pada inflasi yang meningkat dan kepercayaan konsumen yang goyah akibat tarif-tarif sebelumnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mencoba meredakan kepanikan dengan nada optimistis. Dalam wawancara dengan CNBC, ia menyebut kondisi pasar saat ini “masih dalam batas wajar” dan yakin bahwa setelah masa tenggang 90 hari, pasar akan menemukan keseimbangan baru. Bessent menegaskan bahwa penangguhan tarif untuk negara-negara lain adalah langkah strategis untuk menjaga aliansi ekonomi global sambil tetap menekan China. Namun, pandangannya ini mendapat tanggapan skeptis dari sejumlah ekonom, yang menilai bahwa dampak jangka panjang dari perang tarif tidak bisa diatasi hanya dengan masa tenggang singkat.
Di sisi lain, beberapa analis lokal di Indonesia melihat situasi ini sebagai peluang sekaligus tantangan. Dr. Bambang Susilo, ekonom dari Universitas Indonesia, menilai bahwa penangguhan tarif untuk negara-negara seperti Indonesia bisa mendorong ekspor nonmigas ke AS, terutama tekstil dan produk pertanian. Namun, ia juga memperingatkan bahwa ketidakpastian global dapat melemahkan permintaan dari pasar utama seperti China, yang tetap menjadi mitra dagang terbesar ASEAN.
Implikasi Jangka Panjang
Di balik gejolak pasar, pertanyaan besar yang mengemuka adalah: ke mana arah perang dagang ini? Jika Trump serius ingin mencapai kesepakatan dengan Xi Jinping, maka kenaikan tarif ini mungkin hanyalah taktik tekanan untuk memperkuat posisi AS di meja perundingan. Namun, jika negosiasi gagal, dunia bisa menyaksikan eskalasi lebih lanjut yang berpotensi memicu resesi global. China, dengan ekonomi yang masih kuat meski menghadapi tantangan domestik, tidak akan tinggal diam. Tarif balasan 125 persen yang mereka tetapkan menunjukkan bahwa Beijing siap bermain keras, bahkan jika itu berarti mengorbankan pertumbuhan jangka pendek.
Bagi masyarakat Amerika, dampaknya sudah mulai terasa. Harga barang impor dari China, mulai dari elektronik hingga pakaian, diperkirakan akan melonjak dalam beberapa bulan mendatang. Hal ini bisa memicu inflasi yang lebih tinggi, yang pada gilirannya akan memaksa Federal Reserve untuk mempertimbangkan kenaikan suku bunga lebih cepat dari perkiraan. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan AS yang bergantung pada pasar China, seperti Apple dan Tesla, menghadapi ancaman penurunan pendapatan akibat tarif balasan Beijing.
Pasar di Persimpangan
Saat matahari terbenam di Jakarta pada Jumat malam, pasar keuangan global masih bergulat dengan dampak keputusan Trump. Kenaikan tarif ke level 145 persen telah mengirim saham-saham terpuruk, menciptakan gelombang ketidakpastian yang sulit diabaikan. Meski data penutupan pasar menunjukkan sedikit pemulihan, volatilitas yang terjadi sepanjang hari adalah pengingat bahwa kepercayaan investor sedang diuji. Pernyataan optimistis dari Trump dan Bessent mungkin bisa menenangkan sebagian pihak, tetapi bagi investor dan pelaku pasar, angka-angka di layar lebih berbicara daripada kata-kata.
Indonesia, sebagai bagian dari ekonomi global, tidak bisa lepas dari dampak ini. Penangguhan tarif untuk negara-negara non-China adalah kabar baik, tetapi ketidakpastian yang terus berlanjut menuntut kewaspadaan. Apakah Trump akan berhasil menjinakkan naga ekonomi China, atau justru memicu badai yang lebih besar? Hanya waktu yang bisa menjawab. Yang jelas, untuk saat ini, dunia keuangan masih terombang-ambing di antara tarif yang melambung ke langit dan saham yang nyungsep ke bumi. By Mukroni
Foto CNBC Indonesia
- Baca juga :
ASEAN vs Trump: Sambal Diplomasi yang Bikin Gedung Putih Kepedesan! hehehe
Konsesi atau Kompetisi? Indonesia Pilih Jadi Bos ASEAN, Bukan Bocah AS!
Trump Tarik Tarif, Indonesia Tarik Napas: Siapa Menang?
Trump Main Tarik Ulur, 50 Negara Pusing Tujuh Keliling
Trump-Musk Tag Team: Efisiensi atau Efek Ketawa?
Dunia Terguncang! Duterte Ditangkap dan Diterbangkan ke Den Haag untuk Menghadapi Keadilan!
Eropa sebagai Penyelamat: Zelenskyy Mencari Sekutu Baru Setelah Dikhianati AS
Zelenskyy Siap Korbankan Tahta Demi Perdamaian, Dunia di Ambang Titik Balik!
Donald Trump Resmi Dilantik sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat, Janji Era Keemasan
Harapan Damai di Ujung Tanduk: Gencatan Senjata Hamas-Israel Terancam Gagal
Uni Eropa Bersiap Guncang Dunia dengan Hentikan Hubungan dengan Israel!
Skandal Pemalsuan Catatan: Ajudan Netanyahu Diduga Ubah Fakta Penting di Tengah Krisis Nasional!
Jeritan Damai di Gaza: Harapan yang Hancur di Tengah Kobaran Api Perang
Agresi Israel terhadap Iran: Serangan Terencana dan Dampaknya di Timur Tengah
Kolonel Gugur, Perang Tak Berujung: Gaza Terbakar dalam Api Konflik Tanpa Akhir
Kejamnya Israel: Sebar Pamflet Jasad Sinwar, Picu Kecaman Dunia!
Netanyahu Terancam! Serangan Drone Mengguncang Rumahnya di Tengah Badai Perang Tanpa Akhir
Sanders Kritik Serangan Israel dan Serukan Penghentian Dukungan Senjata AS
Brutalitas Perang: Israel Gunakan Warga Sipil Palestina sebagai Tameng Hidup
Israel Serang Prajurit TNI di Lebanon: Arogansi di Atas Hukum, Dunia Terguncang!
Mahkamah Pidana Internasional Desak Penggunaan Istilah “Negara Palestina” oleh Institusi Global
Pertemuan Sejarah di Kairo: Fatah dan Hamas Bersatu Demi Masa Depan Gaza yang Tak Tergoyahkan
Kebiadaban Israel: Serangan Brutal Gaza Tewaskan 42.000 Warga Sipil Tak Berdosa
Khamenei: Serangan ke Israel Sah, Musuh Muslim Harus Bersatu Melawan Agresi
Kekejaman Israel: Serangan yang Memporak-porandakan Lebanon
Konspirasi Gelap Israel: Mossad Hancurkan Hezbollah dan Guncang Iran dari Dalam
Serangan Israel Tewaskan Nasrallah: Menabur Angin, Menuai Badai di Lebanon!
Politik Perang Netanyahu: Kekuasaan di Atas Penderitaan Rakyat!
Netanyahu Bicara Damai di PBB Sambil Kirim Bom ke Lebanon: Ironi di Tengah Perang
Semua Salah Kecuali Israel: Netanyahu Pidato di Depan Kursi Kosong PBB
Sidang Umum PBB 2024: Dunia di Ambang Kehancuran, Guterres Serukan Aksi Global!
Semangat Bandung Bangkit! Seruan Global untuk Akhiri Penindasan Palestina
Pembantaian di Lebanon: 274 Tewas dalam Serangan Israel yang Mengguncang Dunia
Pembelaan Buta Barat: Ribuan Serangan Israel Dibalas dengan Kebisuan Internasional
Serbuan Brutal Israel: Al Jazeera Dibungkam, Kebebasan Pers Terancam!
IDF Lempar Mayat Seperti Sampah: Kekejaman di Atas Atap Tepi Barat
Serangan Bom Pager Israel terhadap Hizbullah: Taktik, Dampak, dan Konteks Geopolitik
Israel Diminta ‘Pindah Kos’ dalam 12 Bulan, Dunia Menunggu Kunci Dikembalikan
Kisah Fiksi Terbaru dari Jewish Chronicle: Propaganda Hasbara Israel yang Tak Kunjung Usai
Jerman Hambat Ekspor Senjata ke Israel di Tengah Kekhawatiran Pelanggaran HAM di Gaza
“Genocide Joe” dan Klub Pecinta Perang: Drama Zionisme di Panggung Gaza 2024
Noa Argamani Klarifikasi: ‘Saya Tidak Pernah Dipukuli Hamas Selama Penahanan di Gaza’
Kamala Harris Kehilangan Dukungan Penting di Konvensi Demokrat Karena Isu Palestina
Konvensi Nasional Partai Demokrat 2024: Penetapan Kandidat, Pesan Kebebasan, dan Insiden Tak Terduga
Elon Musk Dipertimbangkan Masuk Kabinet Trump: Menguak Dinamika Politik dan Bisnis di AS
Pidato yang Tidak Pernah Ingin Disampaikan oleh Biden
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal