Jakarta, Kowantaranews.com -Pada 14 Mei 2025, panggung diplomasi dunia diguncang oleh langkah berani Presiden Amerika Serikat Donald Trump: mencabut sanksi terhadap Suriah dengan syarat negara itu menormalisasi hubungan dengan Israel. Pengumuman ini, yang disampaikan usai pertemuan singkat namun bersejarah dengan Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa di Riyadh, bagaikan membuka pintu warteg yang lama terkunci di Damaskus—mengundang pelanggan baru, tetapi juga memicu keraguan dari tetangga lama, khususnya Israel. Difasilitasi oleh Arab Saudi dan Turki, kebijakan ini mencerminkan perubahan drastis dalam strategi AS di Timur Tengah, dari konfrontasi ke pragmatisme ekonomi. Apa makna di balik langkah ini, bagaimana dampaknya bagi Suriah dan kawasan, dan tantangan apa yang menanti? Berikut narasi mendalam untuk pemberitaan dalam lebih dari 1000 kata.
Pertemuan Bersejarah: Dari Buronan ke Mitra Diplomasi
Bayangkan seorang mantan buronan yang tiba-tiba duduk minum kopi dengan presiden superpower. Itulah gambaran pertemuan 33 menit antara Trump dan Ahmed al-Sharaa di Riyadh. Al-Sharaa, yang pernah memimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok jihadis yang terkait Al-Qaeda dan diburu AS dengan hadiah $10 juta, kini menjadi presiden interim Suriah setelah menggulingkan rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024. Trump, dengan gaya flamboyan khasnya, menyebut al-Sharaa sebagai “figur pragmatis” yang bisa membawa perdamaian, sebuah pernyataan yang membuat banyak alis terangkat, termasuk di kalangan pejabat AS sendiri.
Pertemuan ini bukan kebetulan. Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan adalah dalang di baliknya. Saudi, yang ingin mencegah instabilitas di Timur Tengah, melihat al-Sharaa sebagai peluang untuk membangun Suriah baru yang bebas dari dominasi Iran dan Rusia. Turki, yang memiliki pengaruh besar di Suriah utara, berperan sebagai penjamin stabilitas dan mediator antara al-Sharaa dan Barat. Bersama-sama, mereka meyakinkan Trump bahwa mencabut sanksi adalah langkah strategis untuk menarik Suriah ke orbit Barat, sekaligus melemahkan musuh regional seperti Iran.
Pengumuman Trump, yang dibuat secara mendadak, mengejutkan bahkan Departemen Luar Negeri dan Keuangan AS. Staf di Washington dilaporkan bergegas menyusun rencana implementasi, sementara di Damaskus, warga merayakan dengan turun ke jalan, melambai-lambaikan bendera Suriah dan Saudi. “Ini seperti warteg kami akhirnya buka lagi setelah bertahun-tahun tutup,” kata Osaid Basha, seorang pedagang di Homs, mencerminkan harapan warga Suriah akan pemulihan ekonomi.
Syarat yang Mengguncang: Normalisasi dengan Israel
Inti dari kebijakan Trump adalah syarat yang kontroversial: Suriah harus bergabung dengan Kesepakatan Abraham (Abraham Accords), yang telah mempertemukan Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Dalam pertemuan Riyadh, Trump dengan tegas meminta al-Sharaa untuk menormalisasi hubungan dengan Israel sebagai imbalan atas pencabutan sanksi. Al-Sharaa, menurut sumber diplomatik, menyatakan kesiapan untuk bernegosiasi dengan Israel “dalam kondisi yang tepat,” sebuah pernyataan yang mengejutkan mengingat sejarah permusuhan Suriah-Israel, termasuk pendudukan Dataran Tinggi Golan oleh Israel sejak 1967.
Respons Israel: Pemerintah Israel di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bereaksi dengan campuran kecurigaan dan kehati-hatian. Sebelum pengumuman Trump, Netanyahu telah mendesak AS untuk mempertahankan sanksi, menyebut pemerintahan al-Sharaa sebagai “ancaman terselubung” karena latar belakang jihadisnya. Namun, setelah dipaksa menerima keputusan Trump, Israel memilih diam, meski serangan udara mereka di Suriah terus berlanjut untuk menargetkan sisa-sisa milisi yang didukung Iran. Sikap Israel bagaikan pelanggan warteg yang memesan kopi, tapi tetap waspada terhadap juru masak baru.
Langkah ini juga memperlihatkan retakan dalam hubungan AS-Israel. Trump, yang dulu dikenal sebagai sekutu setia Israel—dengan pengak ““Trump Buka Sanksi Suriah: Israel Diajak Ngopi Bareng di Warteg Damaskus!”
Pada 14 Mei 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengguncang panggung diplomasi dunia dengan langkah yang tak terduga: mencabut sanksi terhadap Suriah dengan syarat negara itu menormalisasi hubungan dengan Israel. Pengumuman ini, yang disampaikan usai pertemuan singkat namun bersejarah dengan Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa di Riyadh, bagaikan membuka pintu warteg yang lama terkunci di Damaskus—mengundang pelanggan baru, tetapi juga memicu keraguan dari tetangga lama, khususnya Israel. Difasilitasi oleh Arab Saudi dan Turki, kebijakan ini mencerminkan perubahan drastis dalam strategi AS di Timur Tengah, dari konfrontasi ke pragmatisme ekonomi. Apa makna di balik langkah ini, bagaimana dampaknya bagi Suriah dan kawasan, dan tantangan apa yang menanti? Berikut narasi mendalam untuk pemberitaan dalam lebih dari 1000 kata.
Pertemuan Bersejarah: Dari Buronan ke Mitra Diplomasi
Bayangkan seorang mantan buronan yang tiba-tiba duduk minum kopi dengan presiden superpower. Itulah gambaran pertemuan 33 menit antara Trump dan Ahmed al-Sharaa di Riyadh. Al-Sharaa, yang pernah memimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok jihadis yang terkait Al-Qaeda dan diburu AS dengan hadiah $10 juta, kini menjadi presiden interim Suriah setelah menggulingkan rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024. Trump, dengan gaya flamboyan khasnya, menyebut al-Sharaa sebagai “figur pragmatis” yang bisa membawa perdamaian, sebuah pernyataan yang membuat banyak alis terangkat, termasuk di kalangan pejabat AS sendiri.
Pertemuan ini bukan kebetulan. Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan adalah dalang di baliknya. Saudi, yang ingin mencegah instabilitas di Timur Tengah, melihat al-Sharaa sebagai peluang untuk membangun Suriah baru yang bebas dari dominasi Iran dan Rusia. Turki, yang memiliki pengaruh besar di Suriah utara, berperan sebagai penjamin stabilitas dan mediator antara al-Sharaa dan Barat. Bersama-sama, mereka meyakinkan Trump bahwa mencabut sanksi adalah langkah strategis untuk menarik Suriah ke orbit Barat, sekaligus melemahkan musuh regional seperti Iran.
Pengumuman Trump, yang dibuat secara mendadak, mengejutkan bahkan Departemen Luar Negeri dan Keuangan AS. Staf di Washington dilaporkan bergegas menyusun rencana implementasi, sementara di Damaskus, warga merayakan dengan turun ke jalan, melambai-lambaikan bendera Suriah dan Saudi. “Ini seperti warteg kami akhirnya buka lagi setelah bertahun-tahun tutup,” kata Osaid Basha, seorang pedagang di Homs, mencerminkan harapan warga Suriah akan pemulihan ekonomi.
Syarat yang Mengguncang: Normalisasi dengan Israel
Inti dari kebijakan Trump adalah syarat yang kontroversial: Suriah harus bergabung dengan Kesepakatan Abraham (Abraham Accords), yang telah mempertemukan Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Dalam pertemuan Riyadh, Trump dengan tegas meminta al-Sharaa untuk menormalisasi hubungan dengan Israel sebagai imbalan atas pencabutan sanksi. Al-Sharaa, menurut sumber diplomatik, menyatakan kesiapan untuk bernegosiasi dengan Israel “dalam kondisi yang tepat,” sebuah pernyataan yang mengejutkan mengingat sejarah permusuhan Suriah-Israel, termasuk pendudukan Dataran Tinggi Golan oleh Israel sejak 1967.
Respons Israel: Pemerintah Israel di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bereaksi dengan campuran kecurigaan dan kehati-hatian. Sebelum pengumuman Trump, Netanyahu telah mendesak AS untuk mempertahankan sanksi, menyebut pemerintahan al-Sharaa sebagai “ancaman terselubung” karena latar belakang jihadisnya. Namun, setelah dipaksa menerima keputusan Trump, Israel memilih diam, meski serangan udara mereka di Suriah terus berlanjut untuk menargetkan sisa-sisa milisi yang didukung Iran. Sikap Israel bagaikan pelanggan warteg yang memesan kopi, tapi tetap waspada terhadap juru masak baru.
Langkah ini juga memperlihatkan retakan dalam hubungan AS-Israel. Trump, yang dulu dikenal sebagai sekutu setia Israel—dengan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota dan aneksasi Golan pada 2019—kini menunjukkan prioritas yang berbeda. Selain kebijakan Suriah, Trump telah mengecewakan Netanyahu dengan menghentikan serangan udara terhadap Houthi di Yaman dan menegosiasikan pembebasan sandera Amerika-Israel dengan Hamas tanpa melibatkan Tel Aviv. Ini seperti mengundang Israel ke warteg, tapi melupakannya di daftar tamu VIP.
Dampak Pencabutan Sanksi: Harapan di Tengah Tantangan
Pencabutan sanksi diharapkan menjadi angin segar bagi Suriah, yang ekonominya porak-poranda akibat perang saudara selama 13 tahun. Dengan 90% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, akses ke modal global dan investasi asing bisa mempercepat rekonstruksi kota-kota seperti Aleppo dan Homs. Di pasar-pasar Damaskus, pedagang mulai bermimpi tentang hari-hari ketika warteg mereka kembali ramai, dengan impor barang dan ekspor minyak serta gandum yang mengalir lancar.
Namun, mencabut sanksi bukan seperti membalikkan telapak tangan. Sanksi AS terhadap Suriah, yang dimulai sejak 1979 dan diperketat pada 2004 serta 2011 melalui Caesar Act, melibatkan regulasi kompleks yang memerlukan persetujuan Kongres. Beberapa sanksi terkait pelanggaran hak asasi manusia dan dukungan terorisme mungkin tetap berlaku, seperti lauk di warteg yang tak bisa dihapus dari menu. Selain itu, sanksi multilateral dari Uni Eropa dan Kanada menambah lapisan kerumitan, memerlukan koordinasi internasional yang intens.
Tantangan Al-Sharaa: Bagi al-Sharaa, pencabutan sanksi adalah kemenangan diplomatik, tetapi juga ujian besar. Ia harus menunjukkan bahwa pemerintahannya mampu menstabilkan Suriah, melindungi minoritas seperti Alawit, Kristen, dan Druze, serta mencegah kebangkitan kelompok ekstremis seperti ISIS. Normalisasi dengan Israel, meski menjanjikan manfaat ekonomi, berisiko memicu protes domestik. Bayangkan al-Sharaa sebagai pemilik warteg yang harus menyenangkan pelanggan baru (AS dan Israel) tanpa membuat pelanggan lama (rakyat Suriah) marah—tugas yang tak mudah.
Konteks Regional: Bayang-Bayang Iran dan Aliansi Teluk
Kebijakan Trump di Suriah adalah bagian dari strategi besar untuk mengisolasi Iran dan memperkuat aliansi dengan negara Teluk. Selama kunjungan ke Riyadh, Trump mengancam Iran dengan serangan militer “skala besar” jika menolak perundingan nuklir, sambil menawarkan “cabang zaitun” untuk kerja sama. Ancaman ini didukung oleh penjualan senjata senilai $142 miliar ke Arab Saudi, termasuk sistem pertahanan rudal dan drone canggih, serta proyek AI dan pusat data dengan Nvidia untuk memperkuat posisi Saudi sebagai benteng anti-Iran.
Melemahkan Iran: Di bawah Assad, Suriah adalah sekutu kunci Iran dan Rusia, berfungsi sebagai jalur pasokan senjata ke Hizbullah di Lebanon. Dengan al-Sharaa beralih ke AS dan Teluk, Iran kehilangan pijakan strategisnya di Levant. Rusia, yang kini terfokus pada konflik Ukraina, kemungkinan akan mengambil sikap pragmatis, menghindari konfrontasi langsung dengan AS. Sementara itu, Saudi dan Qatar, yang mendukung pencabutan sanksi, ingin memastikan Suriah tidak kembali menjadi proxy Iran atau Rusia.
Baca juga : India-Pakistan Berhenti Ribut 2025: Kashmir Aman, Ayo Ngopi di Warteg!
Baca juga : Trump Tarik Tarif China ke Langit, Saham Nyungsep ke Bumi!
Baca juga : ASEAN vs Trump: Sambal Diplomasi yang Bikin Gedung Putih Kepedesan! hehehe
Pergeseran Strategi AS: Warteg Diplomasi Trump
Kebijakan ini mencerminkan perubahan mendasar dalam pendekatan AS di Timur Tengah: dari konfrontasi militer ke diplomasi ekonomi. Selama 45 tahun, AS mengisolasi Suriah sebagai “negara pendukung terorisme.” Kini, Trump melihat peluang untuk menarik Suriah ke orbit Barat melalui insentif ekonomi, seperti akses ke pasar global dan investasi Teluk. Ini sejalan dengan gaya “dealmaking” Trump, yang terlihat dari kesepakatan $600 miliar dengan Saudi dan $1,2 triliun dengan Qatar untuk proyek energi dan infrastruktur.
Ketegangan dengan Israel: Meski Trump pernah menjadi sekutu setia Israel, kebijakan terbarunya menunjukkan divergensi. Selain isu Suriah, Trump menolak kunjungan ke Israel selama tur Timur Tengahnya dan mendorong gencatan senjata di Gaza yang ditentang sayap kanan Israel. Ini seperti mengundang Israel ke warteg, tapi menyajikan menu yang tak sesuai selera mereka. Namun, Israel kemungkinan akan tetap bekerja sama dengan AS, mengingat ketergantungan mereka pada dukungan militer dan diplomatik Washington.
Tantangan dan Harapan: Warteg Damaskus yang Baru
Langkah Trump adalah taruhan besar dengan potensi imbalan besar. Jika berhasil, Suriah bisa memulai babak baru pemulihan ekonomi, dengan investasi mengalir dari Teluk dan Barat. Normalisasi dengan Israel, meski sulit, bisa membuka pintu bagi perdamaian regional yang lebih luas, seperti kopi pahit yang akhirnya diterima pelanggan warteg. Selain itu, melemahnya Iran akan memperkuat posisi AS dan sekutunya di Timur Tengah. By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Baca juga :
India-Pakistan Berhenti Ribut 2025: Kashmir Aman, Ayo Ngopi di Warteg!
Trump Tarik Tarif China ke Langit, Saham Nyungsep ke Bumi!
ASEAN vs Trump: Sambal Diplomasi yang Bikin Gedung Putih Kepedesan! hehehe
Konsesi atau Kompetisi? Indonesia Pilih Jadi Bos ASEAN, Bukan Bocah AS!
Trump Tarik Tarif, Indonesia Tarik Napas: Siapa Menang?
Trump Main Tarik Ulur, 50 Negara Pusing Tujuh Keliling
Trump-Musk Tag Team: Efisiensi atau Efek Ketawa?
Dunia Terguncang! Duterte Ditangkap dan Diterbangkan ke Den Haag untuk Menghadapi Keadilan!
Eropa sebagai Penyelamat: Zelenskyy Mencari Sekutu Baru Setelah Dikhianati AS
Zelenskyy Siap Korbankan Tahta Demi Perdamaian, Dunia di Ambang Titik Balik!
Donald Trump Resmi Dilantik sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat, Janji Era Keemasan
Harapan Damai di Ujung Tanduk: Gencatan Senjata Hamas-Israel Terancam Gagal
Uni Eropa Bersiap Guncang Dunia dengan Hentikan Hubungan dengan Israel!
Skandal Pemalsuan Catatan: Ajudan Netanyahu Diduga Ubah Fakta Penting di Tengah Krisis Nasional!
Jeritan Damai di Gaza: Harapan yang Hancur di Tengah Kobaran Api Perang
Agresi Israel terhadap Iran: Serangan Terencana dan Dampaknya di Timur Tengah
Kolonel Gugur, Perang Tak Berujung: Gaza Terbakar dalam Api Konflik Tanpa Akhir
Kejamnya Israel: Sebar Pamflet Jasad Sinwar, Picu Kecaman Dunia!
Netanyahu Terancam! Serangan Drone Mengguncang Rumahnya di Tengah Badai Perang Tanpa Akhir
Sanders Kritik Serangan Israel dan Serukan Penghentian Dukungan Senjata AS
Brutalitas Perang: Israel Gunakan Warga Sipil Palestina sebagai Tameng Hidup
Israel Serang Prajurit TNI di Lebanon: Arogansi di Atas Hukum, Dunia Terguncang!
Mahkamah Pidana Internasional Desak Penggunaan Istilah “Negara Palestina” oleh Institusi Global
Pertemuan Sejarah di Kairo: Fatah dan Hamas Bersatu Demi Masa Depan Gaza yang Tak Tergoyahkan
Kebiadaban Israel: Serangan Brutal Gaza Tewaskan 42.000 Warga Sipil Tak Berdosa
Khamenei: Serangan ke Israel Sah, Musuh Muslim Harus Bersatu Melawan Agresi
Kekejaman Israel: Serangan yang Memporak-porandakan Lebanon
Konspirasi Gelap Israel: Mossad Hancurkan Hezbollah dan Guncang Iran dari Dalam
Serangan Israel Tewaskan Nasrallah: Menabur Angin, Menuai Badai di Lebanon!
Politik Perang Netanyahu: Kekuasaan di Atas Penderitaan Rakyat!
Netanyahu Bicara Damai di PBB Sambil Kirim Bom ke Lebanon: Ironi di Tengah Perang
Semua Salah Kecuali Israel: Netanyahu Pidato di Depan Kursi Kosong PBB
Sidang Umum PBB 2024: Dunia di Ambang Kehancuran, Guterres Serukan Aksi Global!
Semangat Bandung Bangkit! Seruan Global untuk Akhiri Penindasan Palestina
Pembantaian di Lebanon: 274 Tewas dalam Serangan Israel yang Mengguncang Dunia
Pembelaan Buta Barat: Ribuan Serangan Israel Dibalas dengan Kebisuan Internasional
Serbuan Brutal Israel: Al Jazeera Dibungkam, Kebebasan Pers Terancam!
IDF Lempar Mayat Seperti Sampah: Kekejaman di Atas Atap Tepi Barat
Serangan Bom Pager Israel terhadap Hizbullah: Taktik, Dampak, dan Konteks Geopolitik
Israel Diminta ‘Pindah Kos’ dalam 12 Bulan, Dunia Menunggu Kunci Dikembalikan
Kisah Fiksi Terbaru dari Jewish Chronicle: Propaganda Hasbara Israel yang Tak Kunjung Usai
Jerman Hambat Ekspor Senjata ke Israel di Tengah Kekhawatiran Pelanggaran HAM di Gaza
“Genocide Joe” dan Klub Pecinta Perang: Drama Zionisme di Panggung Gaza 2024
Noa Argamani Klarifikasi: ‘Saya Tidak Pernah Dipukuli Hamas Selama Penahanan di Gaza’
Kamala Harris Kehilangan Dukungan Penting di Konvensi Demokrat Karena Isu Palestina
Konvensi Nasional Partai Demokrat 2024: Penetapan Kandidat, Pesan Kebebasan, dan Insiden Tak Terduga
Elon Musk Dipertimbangkan Masuk Kabinet Trump: Menguak Dinamika Politik dan Bisnis di AS
Pidato yang Tidak Pernah Ingin Disampaikan oleh Biden
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal