Jakarta, Kowantaranews.com -Fenomena migrasi anak muda Indonesia ke luar negeri semakin menjadi perbincangan hangat. Dari mahasiswa yang memilih melanjutkan pendidikan hingga pekerja yang mencari penghidupan lebih baik, tren ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah Indonesia sedang mengalami krisis harapan?
Fenomena migrasi anak muda Indonesia ke luar negeri semakin menjadi perbincangan hangat. Dari mahasiswa yang memilih melanjutkan pendidikan hingga pekerja yang mencari penghidupan lebih baik, tren ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah Indonesia sedang mengalami krisis harapan?
Meningkatnya Angka Migrasi Generasi Muda
Dalam beberapa tahun terakhir, angka keberangkatan generasi muda Indonesia ke luar negeri terus meningkat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan berbagai lembaga survei menunjukkan bahwa semakin banyak anak muda yang memilih meninggalkan tanah air untuk menempuh pendidikan, bekerja, atau bahkan menetap secara permanen. Beberapa negara tujuan utama mereka adalah Singapura, Australia, Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat.
Banyak faktor yang mempengaruhi keputusan ini, mulai dari ketidakpastian ekonomi, minimnya kesempatan kerja dengan gaji layak, hingga kualitas pendidikan yang dianggap lebih baik di luar negeri. “Saya merasa kesempatan untuk berkembang di luar negeri jauh lebih besar. Di Indonesia, persaingan ketat tetapi gaji tidak sebanding dengan usaha yang saya lakukan,” ujar Rian, seorang lulusan teknik yang kini bekerja di Jerman.
Pendidikan dan Kesempatan Kerja Lebih Baik
Banyak mahasiswa yang memilih melanjutkan studi di luar negeri dengan alasan kualitas pendidikan yang lebih unggul serta peluang karier yang lebih terbuka. Beasiswa seperti LPDP, Erasmus, atau program hibah dari universitas internasional semakin diminati. Bagi mereka, memperoleh gelar dari universitas ternama luar negeri dapat meningkatkan daya saing di pasar kerja global.
Namun, permasalahan muncul ketika banyak dari mereka yang tidak kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi. Mereka lebih memilih tinggal di negara tempat mereka belajar karena melihat prospek kerja yang lebih menjanjikan. Fenomena ini dikenal sebagai “brain drain” atau kebocoran talenta, di mana sumber daya manusia berkualitas lebih memilih bekerja dan berkontribusi di luar negeri dibandingkan di dalam negeri.
“Saya ingin kembali ke Indonesia, tapi saya juga harus realistis. Di sini, saya mendapatkan gaji yang lebih tinggi dan lingkungan kerja yang lebih profesional,” kata Anisa, seorang peneliti di bidang bioteknologi yang kini menetap di Kanada.
Tantangan Dunia Kerja di Indonesia
Banyak anak muda yang merasa sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Upah minimum yang rendah, sistem rekrutmen yang tidak transparan, serta budaya kerja yang masih kental dengan nepotisme dan birokrasi menjadi alasan utama. Beberapa lulusan terbaik dari perguruan tinggi dalam negeri pun mengaku frustrasi dengan kondisi pasar kerja yang stagnan.
Menurut laporan dari Bank Dunia, sekitar 60% pekerja di Indonesia masih berada dalam sektor informal dengan upah yang tidak stabil. Sementara itu, pekerja di sektor formal pun sering menghadapi kondisi kerja yang tidak ideal, termasuk jam kerja panjang dengan tunjangan yang minim.
“Di luar negeri, pekerja lebih dihargai. Ada jenjang karier yang jelas dan kesejahteraan yang lebih diperhatikan,” ujar Bagus, seorang software engineer yang kini bekerja di Silicon Valley.
Baca juga : Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Solusi Nutrisi dan Kebersamaan di Sekolah
Baca juga : Liang Wenfeng: Jenius AI China yang Mengguncang Dunia dan Mengancam Hegemoni Teknologi AS
Baca juga : DOSA DAN BANJIR DAHSYAT: KETIKA NEGERI MAKMUR TENGGELAM DAN HUTAN MANGROVE BANGKIT!
Fenomena Digital Nomad dan Pilihan Gaya Hidup Baru
Selain mencari pekerjaan tetap di luar negeri, banyak anak muda Indonesia yang kini memilih menjadi “digital nomad” atau pekerja jarak jauh yang berpindah-pindah negara. Dengan perkembangan teknologi, banyak profesi seperti desainer grafis, programmer, penulis, dan konsultan yang memungkinkan seseorang bekerja dari mana saja.
Bali, misalnya, telah menjadi salah satu destinasi favorit digital nomad dari berbagai negara. Ironisnya, anak muda Indonesia justru lebih memilih menjadi digital nomad di luar negeri, seperti Thailand, Vietnam, atau Portugal, yang dianggap lebih mendukung ekosistem pekerja lepas.
Dampak Jangka Panjang bagi Indonesia
Jika tren ini terus berlanjut, Indonesia berisiko kehilangan sumber daya manusia unggul yang seharusnya bisa berkontribusi bagi pembangunan nasional. Beberapa negara telah merasakan dampak negatif dari brain drain, seperti Filipina yang kehilangan banyak tenaga kesehatan berkualitas karena mereka lebih memilih bekerja di Amerika Serikat dan Timur Tengah.
Indonesia bisa mengalami hal serupa jika tidak ada langkah strategis untuk menarik kembali talenta yang telah pergi atau setidaknya memberikan insentif agar mereka tetap berkontribusi bagi tanah air. Program-program seperti startup lokal yang didukung pemerintah, kebijakan insentif pajak bagi profesional yang kembali, serta peningkatan kualitas dunia kerja bisa menjadi solusi jangka panjang.
Harapan dan Solusi: Apa yang Bisa Dilakukan?
Meskipun tantangan besar, masih ada harapan untuk membalikkan tren ini. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
- Meningkatkan Kualitas Pendidikan dan Riset\
Pemerintah perlu berinvestasi lebih dalam pada pendidikan tinggi dan riset agar lulusan dalam negeri tidak kalah bersaing dengan universitas luar negeri. - Menciptakan Lapangan Kerja Berkualitas\
Mendorong investasi dalam industri berbasis teknologi dan inovasi dapat membuka lebih banyak peluang bagi tenaga kerja muda dengan gaji yang lebih kompetitif. - Membuat Insentif untuk Kepulangan Talenta\
Beberapa negara, seperti China dan India, berhasil menarik kembali warganya dengan menawarkan insentif pajak, tunjangan karier, serta program khusus bagi mereka yang kembali setelah belajar atau bekerja di luar negeri. - Memperbaiki Sistem dan Budaya Kerja\
Transparansi dalam perekrutan, penghapusan nepotisme, serta peningkatan kesejahteraan pekerja dapat membuat anak muda lebih tertarik untuk membangun karier di Indonesia. - Mengembangkan Ekosistem Digital Nomad di Dalam Negeri\
Dengan mendukung lebih banyak coworking space, regulasi yang fleksibel, serta kebijakan pajak yang ramah bagi pekerja lepas, Indonesia bisa menjadi tempat yang lebih menarik bagi talenta digital.
Kesimpulan: Haruskah Kita Khawatir?
Tren anak muda yang berbondong-bondong ke luar negeri memang menimbulkan kekhawatiran, tetapi bukan berarti Indonesia tidak bisa berbenah. Dengan strategi yang tepat, fenomena ini bisa diubah menjadi peluang untuk membangun SDM yang lebih berkualitas dan membawa perubahan positif bagi tanah air.
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat harus berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi generasi muda. Karena jika tidak, kita mungkin akan menghadapi masa depan di mana anak-anak terbaik bangsa justru membangun negeri orang, sementara Indonesia terus kehilangan talenta-talenta terbaiknya.
Jadi, apakah kita siap melakukan perubahan sebelum semuanya terlambat?Fenomena migrasi anak muda Indonesia ke luar negeri semakin menjadi perbincangan hangat. Dari mahasiswa yang memilih melanjutkan pendidikan hingga pekerja yang mencari penghidupan lebih baik, tren ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah Indonesia sedang mengalami krisis harapan?
Meningkatnya Angka Migrasi Generasi Muda
Dalam beberapa tahun terakhir, angka keberangkatan generasi muda Indonesia ke luar negeri terus meningkat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan berbagai lembaga survei menunjukkan bahwa semakin banyak anak muda yang memilih meninggalkan tanah air untuk menempuh pendidikan, bekerja, atau bahkan menetap secara permanen. Beberapa negara tujuan utama mereka adalah Singapura, Australia, Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat.
Banyak faktor yang mempengaruhi keputusan ini, mulai dari ketidakpastian ekonomi, minimnya kesempatan kerja dengan gaji layak, hingga kualitas pendidikan yang dianggap lebih baik di luar negeri. “Saya merasa kesempatan untuk berkembang di luar negeri jauh lebih besar. Di Indonesia, persaingan ketat tetapi gaji tidak sebanding dengan usaha yang saya lakukan,” ujar Rian, seorang lulusan teknik yang kini bekerja di Jerman.
Pendidikan dan Kesempatan Kerja Lebih Baik
Banyak mahasiswa yang memilih melanjutkan studi di luar negeri dengan alasan kualitas pendidikan yang lebih unggul serta peluang karier yang lebih terbuka. Beasiswa seperti LPDP, Erasmus, atau program hibah dari universitas internasional semakin diminati. Bagi mereka, memperoleh gelar dari universitas ternama luar negeri dapat meningkatkan daya saing di pasar kerja global.
Namun, permasalahan muncul ketika banyak dari mereka yang tidak kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi. Mereka lebih memilih tinggal di negara tempat mereka belajar karena melihat prospek kerja yang lebih menjanjikan. Fenomena ini dikenal sebagai “brain drain” atau kebocoran talenta, di mana sumber daya manusia berkualitas lebih memilih bekerja dan berkontribusi di luar negeri dibandingkan di dalam negeri.
“Saya ingin kembali ke Indonesia, tapi saya juga harus realistis. Di sini, saya mendapatkan gaji yang lebih tinggi dan lingkungan kerja yang lebih profesional,” kata Anisa, seorang peneliti di bidang bioteknologi yang kini menetap di Kanada.
Tantangan Dunia Kerja di Indonesia
Banyak anak muda yang merasa sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Upah minimum yang rendah, sistem rekrutmen yang tidak transparan, serta budaya kerja yang masih kental dengan nepotisme dan birokrasi menjadi alasan utama. Beberapa lulusan terbaik dari perguruan tinggi dalam negeri pun mengaku frustrasi dengan kondisi pasar kerja yang stagnan.
Menurut laporan dari Bank Dunia, sekitar 60% pekerja di Indonesia masih berada dalam sektor informal dengan upah yang tidak stabil. Sementara itu, pekerja di sektor formal pun sering menghadapi kondisi kerja yang tidak ideal, termasuk jam kerja panjang dengan tunjangan yang minim.
“Di luar negeri, pekerja lebih dihargai. Ada jenjang karier yang jelas dan kesejahteraan yang lebih diperhatikan,” ujar Bagus, seorang software engineer yang kini bekerja di Silicon Valley.
Fenomena Digital Nomad dan Pilihan Gaya Hidup Baru
Selain mencari pekerjaan tetap di luar negeri, banyak anak muda Indonesia yang kini memilih menjadi “digital nomad” atau pekerja jarak jauh yang berpindah-pindah negara. Dengan perkembangan teknologi, banyak profesi seperti desainer grafis, programmer, penulis, dan konsultan yang memungkinkan seseorang bekerja dari mana saja.
Bali, misalnya, telah menjadi salah satu destinasi favorit digital nomad dari berbagai negara. Ironisnya, anak muda Indonesia justru lebih memilih menjadi digital nomad di luar negeri, seperti Thailand, Vietnam, atau Portugal, yang dianggap lebih mendukung ekosistem pekerja lepas.
Dampak Jangka Panjang bagi Indonesia
Jika tren ini terus berlanjut, Indonesia berisiko kehilangan sumber daya manusia unggul yang seharusnya bisa berkontribusi bagi pembangunan nasional. Beberapa negara telah merasakan dampak negatif dari brain drain, seperti Filipina yang kehilangan banyak tenaga kesehatan berkualitas karena mereka lebih memilih bekerja di Amerika Serikat dan Timur Tengah.
Indonesia bisa mengalami hal serupa jika tidak ada langkah strategis untuk menarik kembali talenta yang telah pergi atau setidaknya memberikan insentif agar mereka tetap berkontribusi bagi tanah air. Program-program seperti startup lokal yang didukung pemerintah, kebijakan insentif pajak bagi profesional yang kembali, serta peningkatan kualitas dunia kerja bisa menjadi solusi jangka panjang.
Harapan dan Solusi: Apa yang Bisa Dilakukan?
Meskipun tantangan besar, masih ada harapan untuk membalikkan tren ini. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
- Meningkatkan Kualitas Pendidikan dan Riset\
Pemerintah perlu berinvestasi lebih dalam pada pendidikan tinggi dan riset agar lulusan dalam negeri tidak kalah bersaing dengan universitas luar negeri. - Menciptakan Lapangan Kerja Berkualitas\
Mendorong investasi dalam industri berbasis teknologi dan inovasi dapat membuka lebih banyak peluang bagi tenaga kerja muda dengan gaji yang lebih kompetitif. - Membuat Insentif untuk Kepulangan Talenta\
Beberapa negara, seperti China dan India, berhasil menarik kembali warganya dengan menawarkan insentif pajak, tunjangan karier, serta program khusus bagi mereka yang kembali setelah belajar atau bekerja di luar negeri. - Memperbaiki Sistem dan Budaya Kerja\
Transparansi dalam perekrutan, penghapusan nepotisme, serta peningkatan kesejahteraan pekerja dapat membuat anak muda lebih tertarik untuk membangun karier di Indonesia. - Mengembangkan Ekosistem Digital Nomad di Dalam Negeri\
Dengan mendukung lebih banyak coworking space, regulasi yang fleksibel, serta kebijakan pajak yang ramah bagi pekerja lepas, Indonesia bisa menjadi tempat yang lebih menarik bagi talenta digital.
Haruskah Kita Khawatir?
Tren anak muda yang berbondong-bondong ke luar negeri memang menimbulkan kekhawatiran, tetapi bukan berarti Indonesia tidak bisa berbenah. Dengan strategi yang tepat, fenomena ini bisa diubah menjadi peluang untuk membangun SDM yang lebih berkualitas dan membawa perubahan positif bagi tanah air.
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat harus berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi generasi muda. Karena jika tidak, kita mungkin akan menghadapi masa depan di mana anak-anak terbaik bangsa justru membangun negeri orang, sementara Indonesia terus kehilangan talenta-talenta terbaiknya.
Jadi, apakah kita siap melakukan perubahan sebelum semuanya terlambat? By Mukroni
Foto Kowantaranews
Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Solusi Nutrisi dan Kebersamaan di Sekolah
Mangrove, Benteng Gaib Penahan Tsunami dan Penyelamat Umat Manusia
MANGROVE: POHON SAKTI PENJAGA BUMI DARI AMUKAN LAUTAN!
Mangrove: Pohon Ajaib yang Menyembuhkan Bumi dan Mengenyangkan Perut Manusia
Serai Wangi: Pahlawan Tak Terduga untuk Lingkungan yang Terluka!
Mangrove Indonesia: Lumbung Karbon Terbesar yang Menyelamatkan Planet!
Krisis Sputnik Baru: Deepseek Mengancam Hegemoni Teknologi Amerika
Laut Terkunci: Pagar Bambu yang Mengurung Masa Depan Nelayan
Isra Miraj: Langkah Kosmik Menuju Harmoni Multikultural
Retakan Tanah Mengintai: Perlombaan Melawan Waktu di Tengah Ancaman Longsor Pekalongan
Di Balik Obsesi Swasembada Pangan: Lingkungan dan Masyarakat yang Terlupakan
Makan Bergizi Gratis Ngebut! 82,9 Juta Pelajar Siap Disantuni di 2025!
Kemiskinan Menyusut, Tapi Jurang Kesenjangan Kian Menganga!
Jeritan Nelayan: Terjebak di Balik Tembok Laut, Rezeki Kian Terkikis
Menimbang Makna di Balik Perayaan Tahun Baru
Insiden di Mahkamah Internasional: Pengacara Israel Disebut ‘Pembohong’ oleh Pengamat Selama Sidang
Raja Saudi Salman Dirawat karena Radang Paru-paru di Istana Al Salam
Helikopter dalam Konvoi yang Membawa Presiden Iran Ebrahim Raisi Jatuh di Azerbaijan Timur
JPMorgan Chase Tarik Investasi dari Elbit Systems di Tengah Tekanan Kampanye Boikot
76 Tahun Nakba: Peringatan Sejarah dan Bencana yang Berkepanjangan di Gaza
Hakim Kanada Tolak Pembubaran Demo Pro-Palestina di Universitas McGill
Blokade Bantuan ke Gaza: Protes, Krisis Kelaparan, dan Konsekuensi Global
Netanyahu Tegaskan Israel Bukan “Negara Bawahan” AS di Tengah Ketegangan dengan Biden
Mayor Angkatan Darat AS Mengundurkan Diri untuk Memprotes Dukungan Amerika terhadap Israel di Gaza
Enam Sekutu Amerika Serikat Dukung Keanggotaan Penuh Palestina di PBB
Jeremy Corbyn di Rafah: ” Kisah Horor dan Harapan di Gaza: Panggilan untuk Keadilan dan Perdamaian”
Antony Blinken Mengecam Klaim Israel: Keadilan dan Kemanusiaan dalam Konflik Gaza
Mayoritas Warga Kanada Mendukung Protes di Kampus Universitas Menurut Jajak Pendapat Terbaru
Raja Denmark Mengibarkan Bendera Palestina: Solidaritas Global Menguat Setelah Badai Al-Aqsa
Gary Lineker: Tidak Bisa Diam Mengenai Konflik Gaza dan Kritik Terhadap Tindakan Israel
Kekuatan Opini Publik: Kim Kardashian dan Dampak #Blockout2024 Pro-Palestina
Perspektif Kritis Randa Jarrar: Hillary Clinton dalam Kacamata Seorang Profesor Studi Timur Tengah
Peringatan Raja Spanyol Felipe VI: Eskalasi Kekerasan di Gaza dan Panggilan untuk Aksi Global
Perayaan Cinta dan Solidaritas: Pengantin di Montreal Mengekspresikan Dukungan untuk Palestina
Bisan Owda dan AJ+ Raih Penghargaan Peabody atas Liputan Gaza
Grace Blakeley Mendorong Sanksi terhadap Israel dalam Debat BBC Question Time
Insiden Pelecehan Verbal di Arizona State University: Staf Pro-Israel Diberhentikan
Respon Defiant Israel Menyusul Peringatan Biden tentang Serangan Rafah
Dinamika Hubungan India-Israel di Bawah Pemerintahan Narendra Modi
Himne Macklemore untuk Perdamaian dan Keadilan: “Solidaritas Diam”
Tujuan Israel Menolak Gencatan Senjata dengan Hamas dan Melancarkan Operasi di Rafah
Mahasiswa Inggris Protes untuk Palestina: Aksi Pendudukan di Lima Universitas Terkemuka
Solidaritas Pelajar di MIT: Dukungan untuk Gaza dan Perlawanan Terhadap Perintah Polisi
Senator Partai Republik Ancam ICC: ‘Targetkan Israel dan Kami Akan Menargetkan Anda’
Pembelotan Massal dan Ketegangan Internal: Pasukan Israel Menolak Perintah di Gaza
Israel Menutup Kantor Al Jazeera
Ketegangan di Upacara Pembukaan Universitas Michigan: Pengunjuk Rasa Pro-Palestina Dikeluarkan
Ketegangan Internal dan Eksternal: Keputusan Kontroversial Menutup Saluran Al Jazeera di Israel
Situasi Tegang: Demonstrasi di Institut Seni Chicago Berakhir dengan Puluhan Orang Ditangkap
Platform Pittsburgh: Peran Pentingnya dalam Gerakan Reformasi Amerika dalam Yudaisme
Deklarasi Balfour dan Peran Walter Rothschild: Sebuah Tinjauan
Pelukan Islam Shaun King dan Dukungannya terhadap Palestina: Kisah Perubahan dan Aktivisme
Trinidad dan Tobago Resmi Mengakui Negara Palestina: Tinjauan Keputusan dan Implikasinya
Kolombia Putuskan Hubungan Diplomatik dengan Israel karena Dugaan Genosida di Gaza
Kontroversi Video Rashida Tlaib: Pertahanan Pro-Palestina di Tengah Keretakan Demokrat Michigan
Kontroversi Terkait Protes Mahasiswa di AS: Antara Anti-Semitisme dan Anti-Perang
Konfrontasi di Kampus: Mahasiswa Universitas Columbia Berjuang Demi Solidaritas dengan Palestina
Robert Reich Membela Mahasiswa yang Memprotes Perang Israel di Gaza di Kampus-kampus Amerika
Perjuangan Mahasiswa Amerika: Solidaritas dengan Palestina Melawan Represi dan Kekerasan
Protes Mahasiswa Pro-Palestina di Washington Tetap Berlanjut Meski Ditekan Pemerintah
Keyakinan Nahamanides dalam Realitas Surga dan Lokasi Taman Eden Dekat Garis Katulistiwa
Konsep Bumi sebagai Pusat Alam Semesta dalam Divine Comedy Dante
Thomas Aquinas: Pemikiran tentang Surga, Khatulistiwa, dan Taman Eden dalam Summa Theologica
Neturei Karta: Sekte Yahudi Anti-Zionis yang Menolak Negara Israel Berdasarkan Keyakinan Eskatologis
Neturei Karta: Sekte Yahudi Anti-Zionis yang Menolak Negara Israel
Orang Uighur Dipaksa Makan Daging Babi karena China Memperluas Peternakan Babi Xinjiang
Keren !, Presiden Pertama Indonesia, Soekarno Bela Mati-matian Palestina
Kata Rabbi Aaron Teitelbaum Shlita : “Negara Zionis adalah Penyembahan Berhala di Zaman Kita”
TERNYATA ADA RABI YAHUDI BERSUMPAH UNTUK “TERUS BERJUANG DALAM PERANG TUHAN MELAWAN ZIONISME”
Gila !, Banyak Wanita Uyghur Dipaksa Kawin Untuk Menghilangkan Warisan Budaya Tradisi Uyghur
Keren !, Ukraina Salah Satu Negara Pertama Akui Palestina di PBB
Karena Dekatnya Turki dengan Malaysia : Anwar Terbang Menemui Erdogan
Media Asing : Barat Tidak Berdaya di Myanmar
Enam Hari setelah Bencana Gempa Bumi Turki, Para Kontraktor Bangunan Ditangkapi
Bayi Lahir di Reruntuhan Gempa Suriah Dinamai Aya
Keren !, Presiden Aljazair Dukung Penuh Keanggotaan Palestina di PBB
Gawat ! Paman Sam AS Sebut Bakal Perang dengan China
Kemarahan Turki Setelah Pembakaran Quran, Protes Kurdi di Swedia
Kontra Intelijen FBI Menggerebek Kantor Polisi China di New York: Laporan
Nitizen Nyiyirin Presiden Emmanuel Macron”Tidak Minta Maaf” Atas Penjajahan Prancis di Aljazair
Tegas ! Demi Kemanusiaan Datuk Sri Anwar Ibrahim PM. Malaysia Bela Palestina
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ternyata Banyak Nama Kota Peninggalan Peradaban Islam di Amerika Serikat
Ternyata Angelina Jolie Tidak Masuk Dalam Daftar 5 Wanita Tercantik di Dunia
Peristiwa Dunia Yang Terjadi Tahun 2022
Wang Yi Menteri Luar Negeri China Diberhentikan
Pele Sang Legenda Sepak Bola Jum’at Dini Hari Meninggal Dalam Usia 82 Tahun
Islamofobia! Tiga Kepala Babi Diletakan Untuk Memprotes Pembangunan Masjid
Tragis ! Korban Bertambah 18 Orang Tewas Akibat Ledakan Truk Gas di Afrika Selatan
Lebih dari 40 Ribu Kematian Di Cina Karena Covid Di Akhir Tahun
Lagi-lagi Zionis Israil Menembak Mati Warga Palestina, Korbannya Pemain Sepak Bola Muda
Dr. Nisia Trindade Lima Menteri Kesehatan Brasil Pertama dari Kaum Hawa
Maher Zain Hadir Di Piala Dunia 2022 Dengan Merilis Lagu Bersiaplah (Tahayya)
Kembali Pecah Rekor, Kasus Covid-19 di China Tembus 39 Ribu Kasus Sehari